Shadow Banking
Shadow banking (perbankan bayangan) merujuk pada aktivitas intermediasi keuangan yang menjalankan fungsi serupa perbankan, seperti penghimpunan dana, penyaluran pembiayaan, dan pengelolaan risiko; namun dilakukan oleh lembaga atau mekanisme di luar sistem perbankan formal. Aktivitas ini mencakup berbagai entitas non-bank, antara lain perusahaan pembiayaan, dana pasar uang, hedge funds, kendaraan sekuritisasi, hingga platform fintech lending.
Meskipun berperan penting dalam menyediakan likuiditas dan alternatif pembiayaan bagi perekonomian, shadow banking umumnya tidak berada di bawah pengawasan dan regulasi seketat perbankan, sehingga tidak memiliki penyangga seperti penjaminan simpanan atau akses langsung ke lender of last resort. Kondisi tersebut membuat shadow banking rentan terhadap risiko likuiditas, regulatory arbitrage, dan potensi penularan risiko sistemik, sebagaimana terlihat pada krisis keuangan global 2008.
Dalam konteks negara berkembang, termasuk Indonesia, keberadaan shadow banking menjadi semakin relevan seiring pertumbuhan lembaga keuangan non-bank dan inovasi digital, sehingga menuntut kerangka pengawasan yang seimbang antara mendorong inklusi dan inovasi keuangan serta menjaga stabilitas sistem keuangan.
OJK (Otoritas Jasa Keuangan) memandang shadow banking (perbankan bayangan) sebagai aktivitas keuangan di luar bank tradisional yang berpotensi menimbulkan risiko, seperti dana investasi, hedge fund, dan perusahaan pembiayaan. OJK berusaha mengatur dan mengawasi kegiatan ini, terutama melalui layanan pinjam meminjam berbasis teknologi (Fintech Lending), dengan mengeluarkan POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) untuk menutup celah, membedakan yang legal (terdaftar/berizin OJK) dan ilegal (ilegal), serta melindungi konsumen dari praktik seperti biaya tinggi atau akses data pribadi berlebihan pada fintech ilegal.
Selain risiko likuiditas dan penularan risiko sistemik, shadow banking juga memiliki implikasi penting terhadap transmisi kebijakan moneter dan stabilitas makroekonomi. Aktivitas intermediasi yang dilakukan di luar sistem perbankan formal dapat melemahkan efektivitas kebijakan suku bunga dan pengendalian likuiditas oleh bank sentral, karena aliran pembiayaan dan penciptaan kredit tidak sepenuhnya tercermin dalam neraca perbankan. Dalam kondisi tertentu, ekspansi shadow banking yang cepat dapat mendorong pertumbuhan kredit berlebihan (credit boom) tanpa pengawasan memadai, sehingga meningkatkan kerentanan sistem keuangan terhadap guncangan eksternal.
Aspek lain yang juga krusial adalah tingkat transparansi dan perlindungan konsumen. Dibandingkan perbankan, banyak entitas shadow banking memiliki kewajiban pelaporan yang lebih terbatas, struktur produk yang kompleks, serta model bisnis yang kurang dipahami oleh masyarakat. Hal ini meningkatkan risiko information asymmetry, di mana konsumen dan investor tidak sepenuhnya memahami risiko produk keuangan yang ditawarkan. Dalam konteks fintech lending, misalnya, risiko ini dapat muncul dalam bentuk bunga efektif yang tinggi, praktik penagihan yang agresif, serta penyalahgunaan data pribadi, terutama pada penyelenggara ilegal.
Dari sisi tata kelola, shadow banking juga menghadirkan tantangan koordinasi regulasi karena aktivitasnya sering kali melintasi batas sektor dan yurisdiksi. Di Indonesia, OJK berupaya mengatasi tantangan ini melalui pendekatan activity-based regulation, yaitu mengawasi aktivitas keuangan berdasarkan fungsi dan risikonya, bukan semata-mata berdasarkan jenis lembaganya. Pendekatan ini penting untuk menutup celah regulasi (regulatory gaps) dan mencegah regulatory arbitrage, di mana pelaku keuangan berpindah dari sektor perbankan ke sektor non-bank untuk menghindari regulasi yang lebih ketat.
Dengan demikian, shadow banking tidak hanya relevan sebagai sumber risiko, tetapi juga sebagai fenomena struktural dalam sistem keuangan modern. Tantangan utama bagi pembuat kebijakan di negara berkembang seperti Indonesia adalah merancang kerangka pengawasan yang mampu menjaga stabilitas sistem keuangan dan perlindungan konsumen, tanpa menghambat peran shadow banking dalam memperluas akses pembiayaan dan mendorong inovasi keuangan.
Sources:
Checo, A., Grigoli, F., & Sandri, D. (2024). Monetary Policy Transmission in Emerging Markets: Proverbial Concerns, Novel Evidence. IMF Working Paper No. 2024/093.
Claessens, Stijn & Ratnovski, Lev (2014). What Is Shadow Banking? IMF Working Paper WP/14/25. International Monetary Fund.
Fidhayanti, D. (2020). Urgensi Pembentukan Regulasi Shadow Banking pada Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Finansial di Indonesia. Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, 8(2). Retrieved from https://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/download/722/pdf_164/2553.
Zhou, S. (Ed.). (2023). Shadow Banking and Financial Risk in Emerging and Developing Markets. Palgrave Macmillan Studies in Banking and Financial Institutions.
Comments :