Pada sesi Guest Lecture yang diselenggarakan oleh Program Magister Akuntansi (MAKSI) pada tanggal 5 November 2025, Prof. Weli menyampaikan materi berjudul Computer Crime & Cyber Forensic yang menyoroti semakin meningkatnya ketergantungan organisasi pada teknologi digital serta konsekuensi keamanan yang muncul dari transformasi tersebut. Beliau menjelaskan bahwa digitalisasi tidak hanya mengubah proses bisnis, tetapi juga mengubah peran akuntan dari sekadar pencatat transaksi menjadi penjaga integritas data dan pengelola risiko siber. Dalam lingkungan yang sarat dengan ancaman seperti ransomware, phishing, pencurian identitas, hingga manipulasi data berbasis AI, akuntan dan auditor dituntut untuk memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai mekanisme serangan, potensi dampaknya, serta teknik investigasi forensik digital yang relevan.

Salah satu contoh nyata yang diangkat adalah insiden ransomware terhadap Pusat Data Nasional (PDN) Indonesia pada tahun 2024. Serangan Brain Cipher tersebut melumpuhkan sistem layanan publik dan mengunci data penting, termasuk data keuangan dan administrasi. Melalui contoh ini, Prof. Weli menekankan pentingnya deteksi dini, segmentasi jaringan, mekanisme backup yang kuat, dan penanganan insiden yang cepat. Bagi auditor, insiden seperti ini menjadi pengingat bahwa anomali log, perubahan mendadak pada pola akses, atau aktivitas enkripsi yang tidak wajar merupakan tanda-tanda awal yang tidak boleh diabaikan.

Dalam paparan selanjutnya, Prof. Weli membedakan konsep kejahatan siber (cyber crime) dan forensik siber (cyber forensic). Cyber crime berfokus pada tindakan ilegal seperti pencurian data, sabotase, atau manipulasi laporan keuangan, sementara cyber forensic merupakan disiplin ilmiah yang bertujuan mengidentifikasi, mengumpulkan, menganalisis, dan melaporkan bukti digital secara sistematis. Bagi profesi akuntansi, perbedaan ini penting karena cyber forensic menjadi alat utama untuk membuktikan adanya fraud berbasis sistem, menyusun kronologi kejadian, serta menilai dampak finansial maupun integritas laporan.

Prof. Weli juga menjelaskan berbagai bentuk kejahatan komputer yang relevan bagi akuntansi, mulai dari manipulasi data, modifikasi ERP, pencurian kredensial, hingga social engineering terhadap staf keuangan. Beliau menekankan bahwa risiko tidak hanya datang dari pihak luar, tetapi juga dari karyawan internal maupun kolaborasi antar pihak internal–eksternal. Karena itu, pemahaman mengenai pengendalian internal digital menjadi sangat krusial. Konsep seperti pemisahan tugas berbasis akses digital (RBAC), validasi input otomatis, enkripsi AES-256, digital signature, dan penggunaan hash (misalnya SHA-256) merupakan fondasi yang harus dipahami akuntan untuk menjaga kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data.

Di sisi tata kelola, Prof. Weli menekankan pentingnya General IT Controls (GITCs), termasuk kontrol akses berbasis prinsip least privilege, proses change management yang terdokumentasi, serta pengujian efektivitas kontrol secara berkala. Selain itu, organisasi harus taat terhadap regulasi seperti UU ITE, ketentuan OJK dan BI, serta peraturan perlindungan data pribadi yang mengharuskan adanya enkripsi, pseudonymization, dan batas waktu penyimpanan data yang jelas. Dalam konteks kontinuitas bisnis, akuntan juga perlu memahami parameter RTO dan RPO, melakukan pengujian Disaster Recovery Plan, serta memastikan semua proses berjalan sesuai standar.

Salah satu bagian penting dari materi ini adalah metodologi inti investigasi forensik digital yang terdiri dari empat tahap: identifikasi insiden, preservasi dan akuisisi bukti, analisis dan rekonstruksi peristiwa, serta penyusunan laporan. Prof. Weli menekankan bahwa bukti digital sangat mudah berubah atau rusak, sehingga teknis seperti pembuatan bit-stream image, perhitungan hash, dan dokumentasi chain of custody menjadi wajib untuk menjaga keabsahan. Dalam proses analisis, akuntan dapat menggunakan timeline analysis, pemulihan data yang terhapus, dan pembacaan log sistem untuk melacak manipulasi transaksi maupun aktivitas mencurigakan. Semua temuan kemudian harus disajikan dalam laporan investigatif yang menghubungkan jejak digital dengan dampak finansial secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Prof. Weli juga memberikan gambaran mengenai berbagai tools cyber forensic yang umum digunakan, seperti FTK Imager, EnCase, Autopsy, X-Ways Forensics, Volatility, Wireshark, hingga Cellebrite. Tools ini membantu proses akuisisi bukti, analisis perangkat, investigasi jaringan, pemulihan file, dan penyusunan timeline. Bagi akuntan, penguasaan dasar-dasar penggunaan tools tersebut penting agar dapat berkolaborasi efektif dengan tim TI forensik dan memahami laporan teknis yang mendukung audit investigatif.

Pada bagian penutup, Prof. Weli menegaskan bahwa akuntan di era cybercrime harus siap berperan sebagai penjaga jejak digital organisasi. Integritas data adalah aset yang paling berharga dalam dunia modern, dan akuntan forensik memiliki peran strategis untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, serta ketahanan sistem informasi akuntansi. Kolaborasi lintas bidang antara akuntan, ahli TI, dan profesional hukum, merupakan kunci keberhasilan dalam menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks. Dengan kompetensi digital yang kuat, pemahaman forensik, serta kesadaran etika yang tinggi, akuntan dapat menjadi garda terdepan dalam melindungi data dan memastikan kualitas laporan keuangan di tengah lanskap risiko siber yang terus berkembang.