Inflasi global, khususnya di sektor energi dan jasa, terus menjadi fokus utama dalam kebijakan ekonomi dunia. Meskipun terjadi penurunan inflasi di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Eropa, inflasi inti yang tidak memperhitungkan harga energi dan pangan tetap menjadi tantangan. Di Amerika Serikat, inflasi inti masih berada di atas target 2%, yang menunjukkan bahwa biaya di sektor-sektor penting seperti perumahan dan jasa terus memberikan tekanan. Di Eropa, situasi serupa terjadi, meskipun Bank Sentral Eropa (ECB) telah mulai melonggarkan kebijakan moneternya dengan pemotongan suku bunga, sektor jasa tetap menyumbang tingkat inflasi yang tinggi. Hal ini menciptakan ketidakpastian mengenai kapan inflasi dapat sepenuhnya dikendalikan, sehingga menambah kerumitan bagi para pembuat kebijakan dalam menentukan arah kebijakan moneter di masa depan.

Federal Reserve (the Fed) menghadapi situasi yang tidak jauh berbeda dengan Bank Sentral Eropa (ECB) dalam hal pengelolaan inflasi, terutama setelah pandemi. Inflasi di Amerika Serikat telah mengalami penurunan dibandingkan puncaknya pada 2022, tetapi inflasi inti, yang tidak memasukkan harga energi dan pangan, masih berada di atas target 2%. Seperti halnya di Eropa, sektor jasa dan perumahan terus menjadi pendorong utama inflasi, menciptakan tantangan bagi the Fed dalam menyeimbangkan kebijakan moneter.  Pada September 2024, the Fed memulai siklus pelonggaran kebijakan moneter, serupa dengan langkah yang diambil ECB, dengan pemotongan suku bunga sebesar 50 basis poin. Langkah ini dilakukan setelah mereka melihat penurunan tekanan inflasi secara keseluruhan dan adanya tanda-tanda bahwa inflasi mungkin mulai terkendali menuju target. Namun, seperti ECB, the Fed juga menghadapi dilema yang berkaitan dengan ketahanan inflasi di sektor jasa, yang lebih lambat menurun dibandingkan sektor energi. Meski demikian, pelonggaran ini menandai pergeseran dari periode pengetatan yang ketat pada 2022 dan 2023, yang sebelumnya digunakan untuk mengendalikan lonjakan inflasi pasca-pandemi.

Di tengah upaya untuk mencapai stabilitas harga, the Fed juga harus memperhitungkan kondisi pasar tenaga kerja yang kuat dan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Meskipun inflasi telah mulai melambat, pasar tenaga kerja yang ketat tetap mendukung kenaikan upah, yang dapat terus mendorong inflasi di sektor jasa. Oleh karena itu, meskipun the Fed mulai melonggarkan kebijakan moneternya, mereka tetap mengadopsi pendekatan yang sangat hati-hati, dengan keputusan kebijakan yang sangat bergantung pada data inflasi dan kondisi ekonomi terbaru.

Langkah-langkah kebijakan moneter oleh the Fed ini, bersama dengan pelonggaran oleh ECB, memengaruhi sentimen pasar global, termasuk di Indonesia. Penurunan suku bunga di AS dapat mengurangi tekanan pada pasar modal di negara-negara berkembang, karena potensi arus modal kembali ke negara-negara dengan imbal hasil lebih tinggi, seperti Indonesia. Namun, ketidakpastian mengenai inflasi inti yang terus berada di atas target dapat menyebabkan volatilitas, mengingat perubahan arah kebijakan the Fed akan tetap bergantung pada perkembangan data ekonomi di AS.

Dinamika inflasi global dan kebijakan moneter di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, memang memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar modal Indonesia. Saat inflasi di negara-negara maju tetap tinggi, bank sentral seperti Federal Reserve (the Fed) dan Bank Sentral Eropa (ECB) biasanya memilih kebijakan moneter ketat, misalnya dengan menaikkan suku bunga untuk meredam kenaikan harga. Kenaikan suku bunga ini menarik investor global ke aset-aset dengan imbal hasil lebih tinggi di negara maju, karena mereka dianggap lebih aman. Situasi ini sering kali menyebabkan arus keluar modal dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kinerja pasar modal Indonesia. Ketika modal asing ditarik dari pasar Indonesia, volatilitas pasar meningkat dan dapat menekan nilai tukar rupiah. Penarikan modal ini terutama dirasakan pada instrumen berdenominasi rupiah, seperti saham dan obligasi, yang kehilangan daya tariknya bagi investor asing saat ada peluang keuntungan yang lebih besar di negara maju. Selain itu, penurunan nilai tukar rupiah juga menambah tekanan inflasi impor, yang selanjutnya meningkatkan biaya bagi perusahaan yang bergantung pada barang impor, sehingga memperburuk kondisi ekonomi domestik.

Namun, apabila kebijakan moneter di negara maju mulai dilonggarkan, seperti yang telah mulai dilakukan oleh ECB dengan penurunan suku bunga, potensi aliran modal asing kembali ke pasar Indonesia meningkat. Penurunan inflasi global, terutama di sektor energi, juga berkontribusi dalam menurunkan tekanan inflasi domestik. Hal ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menjaga suku bunga tetap stabil atau bahkan menurunkannya guna mendorong pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.

Meskipun saat ini terdapat prospek yang positif bagi pasar modal Indonesia, ketidakpastian global masih menjadi risiko yang harus dihadapi. Jika inflasi global kembali meningkat akibat gangguan pasokan atau tekanan harga lainnya, bank sentral seperti Federal Reserve (the Fed) atau ECB mungkin akan mengambil langkah-langkah drastis dengan memperketat kebijakan moneter mereka secara tiba-tiba. Pengetatan ini bisa berarti kenaikan suku bunga yang lebih tinggi atau percepatan pengurangan likuiditas, yang bertujuan untuk meredam lonjakan inflasi. Ketika hal ini terjadi, aset-aset yang berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi kurang menarik bagi investor global. Hal ini bisa memicu arus keluar modal asing, yang pada akhirnya memperlemah kinerja pasar modal Indonesia dan meningkatkan volatilitas di pasar.

Ketergantungan Indonesia pada aliran modal asing membuat pasar modal domestik sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan moneter global. Sebagai akibatnya, fluktuasi dalam kebijakan suku bunga global dapat menciptakan tekanan pada nilai tukar rupiah dan memperburuk stabilitas finansial secara keseluruhan. Bank Indonesia (BI) perlu mempertimbangkan berbagai skenario eksternal ini dan menjaga fleksibilitas dalam kebijakan moneternya agar tetap bisa merespons secara cepat terhadap perubahan eksternal.  Dalam menghadapi dinamika global ini, Indonesia harus tetap waspada dan proaktif. Dengan memastikan kebijakan ekonomi domestik yang responsif dan mendukung pertumbuhan, Indonesia dapat meminimalkan dampak negatif dari ketidakpastian global dan menjaga stabilitas pasar modal domestiknya.

Sources:

https://www.bi.go.id/en/publikasi/laporan/Pages/Laporan-Kebijakan-Moneter-Triwulan-II-2024.aspx

https://www.imf.org/en/Publications/CR/Issues/2024/08/07/Indonesia-2024-Article-IV-Consultation-Press-Release