Kemajuan teknologi digital telah mendorong transformasi signifikan dalam sistem keuangan global. Inovasi layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology) menghadirkan efisiensi transaksi, inklusi keuangan yang lebih luas, dan kemudahan akses bagi konsumen dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, seiring dengan perluasan ekosistem digital, risiko sistemik pun meningkat—salah satunya dalam bentuk penipuan digital (digital financial fraud) yang bersifat lintas platform dan sering kali sulit dilacak.

Dalam literatur keuangan, risiko ini termasuk dalam kategori operational risk dan conduct risk, yakni risiko yang timbul akibat kegagalan sistem, proses, atau perilaku penyedia maupun pengguna jasa keuangan. Ketika perlindungan konsumen lemah, maka kepercayaan terhadap sistem keuangan digital ikut terancam. Hal ini sejalan dengan temuan dalam studi-studi tentang financial consumer protection, di mana penurunan kepercayaan konsumen berpotensi menurunkan partisipasi dalam layanan keuangan formal (Campbell et al., 2011; World Bank, 2021).

Hingga pertengahan tahun 2025, tercatat lebih dari 150 ribu laporan masyarakat terkait penipuan digital, dengan total kerugian mencapai Rp3,2 triliun. Dari seluruh kasus tersebut, sekitar 54 ribu rekening berhasil diblokir dan dana senilai Rp315 miliar dapat diamankan. Meski demikian, sebagian besar laporan masuk terlambat—lebih dari 12 jam setelah kejadian—yang membuat proses pemulihan aset menjadi sangat terbatas. Dalam konteks manajemen risiko, ini mencerminkan lemahnya early warning system serta terbatasnya literasi digital masyarakat dalam mengenali sinyal awal penipuan.

Fenomena ini menjadi indikator penting bahwa stabilitas sektor keuangan tidak hanya ditentukan oleh kekuatan permodalan dan efisiensi operasional lembaga keuangan, tetapi juga oleh kemampuan sistem untuk melindungi konsumennya dari ancaman siber dan rekayasa sosial (social engineering). Studi oleh Arner et al. (2020) menunjukkan bahwa sistem keuangan digital yang sehat membutuhkan keseimbangan antara inovasi, regulasi, dan edukasi konsumen. Tanpa itu, efisiensi yang dihasilkan oleh teknologi bisa berubah menjadi kerentanan sistemik.

Dari perspektif ekonomi makro, maraknya kasus penipuan digital juga berdampak pada transaction costs dan biaya eksternalitas yang meningkat. Konsumen yang dirugikan menjadi lebih enggan menggunakan layanan digital, sementara lembaga keuangan harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk sistem keamanan, pengawasan, dan penyelesaian sengketa. Efek jangka panjangnya adalah terganggunya arus dana dalam sistem keuangan formal dan berkurangnya kepercayaan publik terhadap ekosistem keuangan digital secara keseluruhan.

Dengan demikian, penanganan kasus scam tidak dapat dipisahkan dari upaya memperkuat kerangka perlindungan konsumen keuangan. Perlindungan konsumen bukan hanya merupakan kewajiban etis dan legal, tetapi juga menjadi prasyarat penting bagi terciptanya sistem keuangan yang berkelanjutan dan stabil secara sistemik. Dalam konteks ini, terdapat empat pilar utama yang harus diperkuat secara simultan: regulasi yang adaptif, sistem pelaporan yang responsif, integrasi data antar-lembaga, dan literasi digital masyarakat.

Pertama, penguatan regulasi diperlukan untuk memastikan bahwa produk dan layanan keuangan digital tunduk pada prinsip transparansi, fairness, dan akuntabilitas. Hal ini mencakup kewajiban penyedia jasa keuangan untuk menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang cepat dan adil, serta penerapan prinsip-prinsip responsible innovation, yaitu inovasi yang tidak mengorbankan keamanan dan hak-hak konsumen. Pendekatan berbasis prinsip (principle-based regulation) yang fleksibel namun tegas menjadi preferensi di era yang cepat berubah ini.

Kedua, sistem pelaporan terpadu menjadi kunci dalam mempercepat respons terhadap penipuan digital. Sistem ini harus mengintegrasikan pelaporan dari berbagai kanal—bank, fintech, platform e-commerce, dan aparat penegak hukum—dengan sistem verifikasi otomatis dan mekanisme eskalasi yang jelas. Kegagalan dalam koordinasi antar-entitas dapat memperlambat penanganan kasus dan memperbesar kerugian konsumen.

Ketiga, interoperabilitas data perlu dikembangkan dalam kerangka governance yang kuat. Hal ini menyangkut kemampuan sistem-sistem yang berbeda (dari sektor keuangan, telekomunikasi, hingga keamanan siber) untuk saling bertukar dan memverifikasi data secara real time. Interoperabilitas ini akan mendukung deteksi dini pola-pola transaksi mencurigakan (early warning system) dan pengambilan keputusan berbasis data dalam penanggulangan scam. Studi oleh BIS (Bank for International Settlements, 2022) menegaskan bahwa penguatan data-sharing ecosystem adalah fondasi dari regtech dan suptech yang efektif dalam melindungi konsumen.

Keempat, kampanye literasi digital yang berkelanjutan harus menjadi bagian integral dari strategi nasional. Literasi tidak hanya mencakup pemahaman teknis atas cara menggunakan aplikasi keuangan, tetapi juga mencakup kemampuan kritis untuk mengenali risiko, memahami hak sebagai konsumen, dan mengetahui jalur pelaporan ketika terjadi penyalahgunaan. Rendahnya literasi keuangan dan digital terbukti berkorelasi positif dengan kerentanan terhadap fraud, sebagaimana dicatat dalam berbagai studi OECD dan World Bank.

Tanpa strategi yang komprehensif dan kolaboratif yang menggabungkan keempat pilar tersebut, kemajuan teknologi justru berpotensi menjadi ancaman bagi integritas, kepercayaan publik, dan inklusi keuangan. Dalam skenario terburuk, fragmentasi sistem dan lemahnya respons terhadap penipuan dapat menciptakan krisis kepercayaan yang mengganggu stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan—terutama di negara berkembang yang masih membangun ekosistem keuangan digitalnya.

Sumber:

Ioannis Anagnostopoulos, Fintech and regtech: Impact on regulators and banks, Journal of Economics and Business,
Volume 100, 2018, Pages 7-25,

World Bank (2021), Good Practices for Financial Consumer Protection

John Y. Campbell & Howell E. Jackson & Brigitte C. Madrian & Peter Tufano, 2011. “Consumer Financial Protection,” Journal of Economic Perspectives, American Economic Association, vol. 25(1), pages 91-114, Winter.