Sejak diperdagangkan pertama kali pada tahun 2014 hingga hari ini, Bitcoin terus menunjukkan daya tarik yang luar biasa. Per tulisan ini dibuat harga Bitcoin telah mencapai USD 38.345 per unit; lebih dari 11x lipat dari harga perdananya dalam waktu kurang dari satu dekade. Fenomena ini menarik perhatian banyak pihak. Banyak orang awam melihat aset ini sebagai cara instan menjadi kaya. Disisi lain regulator dan akademisi umumnya menunjukkan sikap berhati-hati terhadap popularitas aset ini. Pada beberapa tahun terakhir kita menyaksikan kemunculan varian dari “aset keuangan” semacam bitcoin seperti cryptocurrency (keluarga besar Bitcoin) dan Non-Fungible Token (NFT). Saya menggunakan tanda petik dalam menyematkan istilah “aset keuangan” pada bitcoin dan “adik-adiknya” dan memilih menggunakan penyebutan “investasi kontemporer”.

Penggunaan istilah investasi pun sebenarnya kurang tepat. Buku-buku teks seperti Reily dan Brown (2012), Elton et al (2014) serta Bodie, Kane and Marcus (2018), mendefinisikan investasi sebagai penempatan uang tunai pada suatu instrumen. yang diharapkan akan memberikan imbal hasil yang mengkompensasi (a) opportunity cost of money dan (b) risiko dari penempatan tersebut. Imbal hasil dapat berupa (a) suatu arus kas periodik seperti bunga dan dividen dan/atau (b) kenaikan harga (appresiasi) dari aset tersebut (disebut juga capital gain). Dari definisi ini kita melihat “Investasi Kontemporer” memiliki isu pada (a) hakikat imbal hasil dan (b) kompensasi atas risiko.

Pemenang nobel ilmu ekonomi tahun 2008, Paul Krugman dalam suatu artikel di koran New York Times pada bulan Juli 2020 mengaitkan risiko dari pesatnya dari perkembangan “Investasi kontemporer” ini dengan fenomena subprime mortgage yang pada tahun 2008 yang berujung krisis global. Sepakat dengan Paul Krugman, saya sampai detik ini juga masih bingung fungsi dan manfaat apa yang dihadirkan oleh crypto currency pada perekonomian. Teknologi dibelakang crypto currency: block chain tidak diragukan lagi sebagai suatu inovasi besar dalam pembukuan transaksi dan enkripsi. Tapi aplikasinya seperti cryptocurrency? Instrumen ini sangat berbeda dengan saham atau obligasi yang merupakan instrumen pembiayaan dan memiliki basis ekonomi yang jelas (ada bisnis-aktivitas ekonomi dibelakang aset finansial). Corbet et al (2019) melakukan studi literatur yang sangat komprehensif dan menyimpulkan posisi crypto currency sebagai suatu aset dengan basis imbal hasil ekonomi yang diragukan.

Terlepas dengan segala kontroversi yang disebutkan sebelumnya, pesona bitcoin tidak terbendung dan mampu menghasilkan appresiasi harga yang luar biasa, bahkan sulit dicapai oleh aset keuangan konvensional. Saya melihat terdapat suatu proses pembentukan psikologi massa yang mendorong aksi beli suatu aset yang menyebabkan pergerakan harganya jauh dari nilai fundamentalnya (Asset Bubble). Dalam konteks bitcoin, nilai fundamentalnya bahkan masih sangat diperdebatkan.  Pemenang Nobel Ekonomi 2013, Robet Shiller menyebut fenomena psikologi masal ini sebagai Irrational Exuberance.

Dalam buku best sellernya yang terbit pada tahun 2015; Shiller menjelaskan penyebab dan evolusi perkembangan dari fenomene irrational exuberance yang menjadi pendorong utama berbagai fenomena asset bubble didunia. Meskipun namanya irrational exuberance, tapi pemicu utama dan mekanisme perkembangannya (pada suatu titik) dapat merupakan suatu yang rasional. Terobosan teknologi dan penemuan (inventiondiscovery) sering menjadi titik awal irrational exuberance. Dalam perkembangan berikutnya karakter sosial-budaya, ketidak sempurnaan pasar, proses informasi dan herding behavior telah menyebabkan proses analisa dan pengambilan keputusan investasi ini menjadi bias dan tidak rasional.

Terdapat peran aktif dari empat pihak yakni produsen inovasi, penyokong pendanaan, promotor dan pelaku pembiaran untuk mendorong asset bubble. Penyokong pendanaan melakukan percikan awal untuk pesona aset dengan membuat harga terbang; bukan hal yang sulit untuk aset diawal kelahirannya. Para promotor (yang seringkali merupakan pesohor negeri) melakukan aktivitas pemasaran yang sering kali membesar-besarkan nilai intrinsik aset. Terakhir tentu saja agar asset bubble terjadi harus ada pembiaran dari pihak yang mestinya bertugas mengawasi. Terdapat situasi dimana pembiaran ini terindikasi fraud; tapi ada juga situasi dimana petugas berada posisi dilematis. Hal terakhir ini mirip dengan dilema petugas pandemi, yang “kecolongan” sehingga menghadapi pesta yang sudah dihadiri ribuan orang. Salah satu episode pertama mengenai asset bubble adalah tulip mania yang terjadi di Belanda lebih dari 4 abad yang lalu. Ditemukannya suatu jenis bunga tulip yang eksotis dan saat itu laku keras telah mendorong pelaku pasar untuk “berinvestasi” gila-gilaan. Harga satu tangkai tulip eksotis ini pada masa puncaknya setara dengan 2 Ton Mentega atau 4 Ton Bir; yang bahkan untuk standar saat ini saja sudah luar biasa apalagi waktu itu.

Fenomena asset bubble adalah hal yang berbahaya bagi perekonomian. Setiap bubble akan berakhir dengan letusan (burst). Dalam situasi yang parah, letusan tadi akan menyeret banyak pelaku ekonomi kepada kerugian yang sangat besar dan bahkan kebangkrutan. Jika yang bangkrut ini adalah bank-bank tentu saja akan menimbulkan gelombang kejut berikutnya: rontoknya sektor keuangan; macetnya pendanaan dunia usaha. Dengan demikian asset bubble berakhir sebagai krisis ekonomi. Hal ini terjadi pada tahun 2008 di Amerika Serikat yang dengan cepat menyebar keseluruh dunia. “Tulip” pada tahun 2008 bernama “Subprime Mortgage”.  Uraian ini menunjukkan kompensasi risiko dari investasi kontemporer sangat mungkin tidak layak apalagi jika melihat dari perspektif eksternalitas (mereka yang bukan penjual dan pembeli).

Garleanu dan Panageas (2021) menguraikan secara teoritis pecahnya bubble merupakan suatu zero sum game. Disini terjadi tranfer kekayaan dari mereka yang masuk belakangan (menjadi pecundang) kepada mereka yang masuk lebih dahulu (para pemenang). Tentu saja kita juga tidak dapat membenarkan fenomena ini. pelajaran dari behavioral finance (De Bondt, 2003), mereka yang menjadi pecundang seringkali adalah mereka yang belum mapan secara ekonomi sehingga berharap pada ekspektasi investasi yang tidak realistis. Alasan ini cukup menjadi pintu masuk bagi regulasi.

Tanpa bermaksud menafikan arti bagi kemajuan ekonomi, kita selayaknya mencermati perkembangan dan inovasi di pasar keuangan dengan hati-hati. Kreativitas harus tetap mengedepankan asas manfaat tidak semata-mata kepentingan keuntungan. Lebih lanjut lagi asas manfaat harus ditinjau dari sudut stakeholder yang luas (bukan hanya penjual dan pembeli); juga terhadap stabilitas perekonomian. Dari perspektif ini maka pengembangan kreativitas dipasar keuangan harus dilakukan dalam kerangka eksperimental ketat seperti standar industri farmasi dan senjata.

Inovasi produk pasar keuangan pertama kali dipaparkan pada kalangan terbatas; mereka yang tidak hanya memiliki appetite tetapi juga permodalan untuk menelan kerugian (jika ada sesuatu yang salah). Paparan kepada pihak yang lebih luas dilakukan setelah diperoleh pengalaman yang mendalam serta kajian simulasi (what if) yang esktensif. Dengan demikian diharapkan mayoritas risiko material terkait inovasi tersebut telah dipahami dengan baik dan protokol penanggulangan dampak telah dibuat. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, lebih baik pengembangan pasar keuangan dilakukan dengan paradigma yang konservatif: pasar keuangan ada untuk mendukung sektor riil (finance follows business).

Tulisan ini telah dimuat pada harian Kontan tanggal 17 Maret 2022 (https://insight.kontan.co.id/news/menyikapi-investasi-kontemporer)