Digitalisasi adalah tema yang sangat seksi di dunia bisnis di dunia sejak 10 tahun terakhir. Istilah yang lahir dari revolusi teknologi komputasi (Industri 4.0) mengacu pada teknologi untuk merubah segala macam informasi yang semula tangible (seperti kertas kerja, kuitansi, gambar dan suara) menjadi bentuk digital yang kemudian dapat diolah dan dianalisa oleh komputer untuk keperluan transaksi dan investasi (Terry 2008). Sebenarnya teknologi ini sudah ada sejak beberapa dekade sebelumnya tapi kemajuan teknologi memungkinkan pemanfaatan secara masif bahkan melebihi apa yang dibayangkan semula. Bitcoin adalah contoh yang paling revolusioner, aset keuangan bukan hanya paperless bahkan bisa tidak terlacak (siapa yang punya).

Blockchain yang merupakan suatu tipe dari Distributed Ledger (DLT) adalah teknologi yang digunakan untuk memproduksi bitcoin. Kajian oleh Ernst &Young (2021) memprediksi teknologi DLT bersama dengan Artificial Intelligence (AI), Advanced Analytics dan Cloud akan menjadi game changer bagi pasar modal. Tulisan ini akan memberikan gambaran bagaimana manifestasi dari teknologi tersebut serta apa yang harus dicermati. Sejarah menunjukkan bahwa inovasi tidak hanya membawa manfaat tetapi juga menimbulkan risiko (bahkan potensi bencana). Kuncinya adalah bagaimana mengelola risiko tersebut sehingga manfaat yang diperoleh akan optimal

DLT adalah teknologi pencatatan dan validasi yang revolusioner. Dalam teknologi konvensional pencatatan dan validasi suatu transaksi (misalnya pembelian saham) dilakukan oleh pihak penengah (Kustodian dan sentra kliring). Kelemahan utama system ini adalah terletak pada kemampuan pengamanan dan integritas nya yang tersentralisasi. Jika sentra (pusat) database dapat ditembus, maka akan timbul fraud seperti penggelapan kepemilikan saham. Pada DLT, pencatatan dan validasi dilakukan oleh suatu jejaring computer; dimana setiap anggota jaringan memiliki salinan yang identik mengenai seluruh rangkain transaksi yang telah terjadi. Ketika terdapat suatu transaksi baru; seluruh anggota dalam jaringan tersebut melakukan updating dan sinkronisasi (yang ditentukan oleh suatu algoritma).  Jejaring komputer ini dapat bersifat keanggotaaan dan tertutup (permissioned) atau dapat juga bersifat terbuka (permissionless). Bitcoin adalah contoh jaringan yang bersifat terbuka; semua orang yang memiliki sumberdaya komputasi yang memadai dapat menjadi anggota jaringan ini; dan sebagai “imbalan” meminjamkan sumberdaya yang dimiliki ia akan memperoleh reward berupa bitcoin (aktivitas ini dikenal dengan sebutan mining). Pembobolan pada jaringan DLT dilakukan dengan membajak buku informasi (ledger) secara serentak terhadap seluruh (atau setidaknya mayoritas) dari anggota jaringan. Tentu saja membobol suatu jaringan akan jauh lebih sulit dibandingkan membobol entitas tunggal.

Melihat keunggulan ini, tidak mengherankan banyak perusahaan dan otoritas pasar keuangan mulai mengadopsi teknologi DLT untuk keperluan transaksi dan dokumentasi. Karena alasan keamanan, model yang banyak diadopsi adalah DLT tertutup (permissioned).  DTCC (Lembaga custodian dan kliring efek AS) dan  ASX (otoritas Bursa saham utama Australia) pada tahun 2016 mulai membangun perangkat DLT tertutup untuk menggantikan system clearing dan settlement efek konvensional.  Singapura pada tahun 2018 meluncurkan proyek Ubin yang akan berperan sebagai fasilitas clearing dan settlement untuk transaksi pasar uang antar bank. Baru-baru ini Bank Indonesia dalam Blue Print SIstem Pembayaran 2025 meluncurkan inisiatif uang bank sentral digital yang berbasis blockchain.

AI, Advanced Analytics dan Cloud Computing adalah kombinasi pamungkas untuk melakukan actionable research on the fly. Teknik analisa paripurna seperti machine learning dan big data analysis telah mampu membaca secara cukup akurat sentiment yang ada di pasar (Arratia et al, 2019). Dari kacamata behavioral finance; sentiment adalah variabel  pasar penting melalui kemampuannya untuk menggerakkan perilaku kolektif (Hirschleifer, 2015). Disisi lain sentiment juga merupakan variabel yang sangat volatile (noisy), seperti halnya mood individual. Sentimen dapat diperoleh dari ekstraksi narasi media atau media sosial. Setelah hasil analisa keluar; AI akan melakukan analisa, merekomendasikan serta mengkomunikasikan secara persuasive; kebijakan-tindakan apa yang perlu dilakukan untuk memanfaatkan moment tersebut. Akhirnya teknologi Cloud memungkinkan untuk  melakukan hal-hal canggih yang telah diuraikan sebelumnya dengan modal “pinjaman”. Berakhir sudah era, perusahaan harus membeli server dan komputer canggih yang sangat mahal. Semua yang dibutuhkan sudah tersedia dan dapat dipinjam perusahaan cloud service melalui internet. Tergantung kompleksitas bisnis, suatu think tank IT, Secura memperkirakan penghematan biaya berada pada rentang 30%-50%.

Pasar modal Indonesia adalah salah satu entitas yang diperkirakan akan menjadi bagian terdepan dalam terbososan digitaslisasi sebagaimana yang diuraikan diatas. Investor retail adalah tipe investor yang mendominasi perdagangan (dengan pangsa 63.5% rata-rata nilai perdagangan harian). Investor ini umumnanya berusia muda, 80% berusia dibawah 40 tahun dan kelas menengah (penghasilan antara Rp. 10-100 juta per bulan). Investor semacam ini tentu akan sangat haus akan insight dan memiliki risk appetite yang cukup tinggi, suatu karakter yang akan antusias menyambut pemanfaatan teknologi digital. Data OJK mengkonfirmasi hal ini dimana per akhir tahun 2020 telah terdapat 89 perusahaan rintisan digital; yang mayoritas (40%) adalah bersifat market platform.

Manfaat juga dapat diperoleh dari sisi penawaran. Aktivitas-aktivitas penerbitan efek dapat sangat dipermudah dan diperingkas. Teknologi komunikasi data, verifikasi dan analisis saat ini sebenarnya telah memungkinkan membuat aktivitas penerbitan efek menjadi hitungan hari (dari saat ini yang membutuhkan setidaknya 3 bulan). Lebih lanjut instrument yang diperdagangkan di bursa bukan lagi hanya yang bersifat jangka panjang (seperti saham dan obligasi) tapi juga jangka pendek (commercial paper dan bills). Dengan demikian pasar modal telah menjadi satu dengan pasar uang. Dapat dibayangkan akan tiba suatu masa dimana perusahaan dapat mengambil dana dari pasar semudah bank menawarkan deposito berjangka.

Tentu saja kita jangan terlena dengan prospek bisnis yang menjanjikan dari terobosan teknologi digital; tetapi yang sama pentingnya kita harus menyadari risiko yang timbul. Dengan semakin maraknya pasar; maka risiko operasional akan semakin besar. DLT memang lebih sulit dijebol tetapi bukan mustahil. Meningkatnya transaksi dan ukuran pasar akan memberikan insentif bagi para hacker untuk mencoba “peruntungannya”; cyber risk harus menjadi fokus utama. Proteksi konsumen juga harus diperkuat! Bersama lonjakan aktivitas pasar harus diantisipasi timbulnya friksi dan sengketa khususnya terkait transaksi investor; yang ini jauh lebih rumit karena karakternya yang terdigitalisasi (belum kompatibel dengan ekosistem hukum Indonesia yang masih berbasis fisik). Peran OJK sangat kritikal; karena dalam penanganan situasi ini akan menyerupai penanganan kebakaran. SImulasi harus dilakukan untuk mengembangkan protokol penanganan yang tepat.

Akhirnya, mengutip hasil studi dari Cihak et al (2015), pengembangan pasar keuangan harus tetap berpijak pada perkembangan pasar “real”. Jangan sampai melimpahnya penyediaan dana; tidak berimbang dengan kesempatan produktif yang ada sehingga banyak dana mengalir kepada aktivitas spekulatif. Hal ini adalah isu klasik pengelolaan stabilitas sistem keuangan.

Artikel ini telah dimuat pada website CNBC Indonesia tanggal 2/2/2020: https://www.cnbcindonesia.com/opini/20220131120420-14-311758/revolusi-digital-pasar-modal-indonesia-potensi-risiko