Sejak setidaknya tahun 1960-an masyarakat mengharapkan korporasi menunjukkan kiprah “sosial” yang lebih signifikan. Entitas yang dalam teori ekonomi dimodelkan sebagai sosok “dingin” yang hidup “hanya” untuk memaksimumkan laba berkelanjutan (dan nilai perusahaan) diharapkan juga berkontribusi dalam pengembangan berbagai dimensi sosial-non ekonomi. Dimensi-dimensi seperti pemberdayaan masyarakat sekitar lokasi usaha, proses produksi yang ramah lingkungan, pemberantasan kemiskinan dan model bisnis yang etis adalah beberapa tuntutan yang sering didengungkan.

Memasuki abad ke 21, tuntutan ini memasuki babak baru dengan lahirnya Global Reporting Initiatives (GRI). GRI yang lahir di Amerika Serikat sebagai suatu Lembaga independen yang mempromosikan  transparansi atas aktivitas bisnis yang dilakukan perusahaan. GRI mengkaji dan mengembangkan suatu panduan dan standar pelaporan bisnis yang memenuhi karakter berkelanjutan (sustainable). Karakter sustainable ini selanjutnya diterjemahkan secara spesifik dalam kelompok ukuran (metrik): Environmental, Social dan Governance, populer dengan akronim ESG. GRI telah memberikan panduan dan standar yang spesifik bagi setiap dimensi ESG, dikenal dengan GRI 200,300 dan 400.

Banyak perusahaan didunia telah mengadopsi tren ini dan merupakan tantangan tersendiri bagi manajemen yang terbiasa dengan metrik konvensional. Metrik konvensional seperti profitabilitas tidak lagi memadai untuk menunjukkan kinerja-standing perusahaan. Profitabilitas misalnya diukur dari Return on Equity (ROE) yang tinggi; tidak lagi “mempesona” jika diketahui bahwa angka ini dicapai dengan penggunaaan mesin yang menghasilkan polusi tinggi atau mempekerjakan tenaga kerja anak.

Terdapat banyak sekali dimensi non ekonomi dalam suatu bisnis. Bagaimana membuat standard yang apple to apple bagi perusahaan diberbagai sektor ekonomi dan berbagai negara terdengar seperti suatu mission impossible. Namun demikian hal ini menjadi tidak terelakkan; dengan semakin bertambahnya kesejahteraan materi serta usia kemanusiaan; masyarakat menuntut lebih dari economic benefit. Saat ini ESG sudah banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan dalam pelaporan yang dikenal sebagai sustainable reporting. Disamping tuntutan masyarakat, didalam perusahaan sendiri juga tumbuh kesadaran ingin menjadi warga dunia yang baik (corporate citizenship; Althaus, Gefken and Rawe, 2005). Pada akhirnya untuk kepentingan perusahaan sendirilah; memiliki reputasi yang baik.

Perusahaan rating konvensional seperti S&P, Moody;s dan Fitch  telah membuat scoring capaian ESG bagi banyak perusahaan global. Banyak Investor institusional-Fund Manager mulai menjadikan ESG Score sebagai filter awal bagi kandidat investasinya (Ailman et al, 2017). Khan (2019) melakukan studi lintas negara yang komprehensif menunjukkan bahwa investor memberikan appresiasi atas capaian ESG suatu perusahaan. ESG score mampu menunjukkan berbagai risiko yang ada pada suatu bisnis; yang perlu dipertimbangkan ketika mengambil keputusan investasi. Kesimpulan serupa diperoleh studi lain yang dilakukan oleh Sahut dan Pascuini-Deschamps (2015) dan Fatemi, Glaum dan Kaiser (2018).

Huang (2021) melakukan kompilasi atas studi-studi pengaruh ESG kepada kinerja korporasi (yang standar); dimana ia berkesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif tapi tidak sebesar yang diharapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa capaian ESG mungkin menjadi pertimbangan penting hanya bagi perusahaan-perusahaan yang sudah sukses secara finansial (ukuran standar). Bagi kebanyakan perusahaan lainnya, survival dan to compete effectively menjadi hal yang lebih menyita perhatian.

Uraian diatas menunjukkan kondisi yang  perlu diappresiasi. Sudah waktunya korporasi diseluruh dunia memasuki era responsible business. Hal ini tentu tidak akan berjalan jika tidak ada system reward dan punishment. Investor berada dalam posisi tepat untuk melakukan hal ini; dikenal dengan nama disiplin pasar (market discipline).

Bagaimana korporasi Indonesia? Sejak tahun 2007 pemerintah mewajiban untuk melaporkan sustainability report untuk perusahaan yang bergerak pada ekstraksi sumber daya alam. OJK sejak tahun 2017 mewajibkan perusahaan terbuka untuk membuat sustainability report disamping laporan tahunan.

Kita semua akan memperoleh manfaat dari penerapan sustainable reporting. Perusahaan akan dituntut untuk menerapkan praktek bisnis yang tidak hanya menjunjung tinggi Governance tetapi juga mengedepankan responsible business. Target peningkatan kesejahteraaan masyarakat dan pengurangan ketimpangan misalnya dapat masuk kedalam sustainable report (mengacu pada GRI 203 dan GRI 413). Sebagai ilustrasi dalam laporan tersebut banyak perusahaan menunjukkan aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) misalnya dalam bentuk pembangunan fasilitas umum dan pelatihan-pengembangan kewirausahaaan di masyarakat sekitar lokasi usaha.

GRI 205 memuat standar bagi perilaku anti korupsi. Dalam standar ini diuraikan agar perusahaan memiliki gugus tugas yang aktif dalam mencegah serta mengatasi korupsi baik kedalam maupun kepada pihak ketiga. Perusahaan juga diminta melaporkan kejadian-kejadian korupsi (serta tindakan yang dilakukan) pada tahun pelaporan.   Banyak negara berkembang (termasuk Indonesia) mengalami isu korupsi yang kronis. Dengan demikian adopsi standar GRI oleh korporasi-korporasi dunia juga akan membantu membangun system berbisnis yang bersih dan memiliki integritas yang tinggi tidak hanya dinegara asal (home country) tetapi yang lebih penting adalah dinegara tempat berbisnis (host country).

Tulisan ini juga telah dimuat pada harian Bisnis Indonesia, 26 November 2021