Pada tahun 1994, salah satu pendiri Microsoft: Bill Gates, mengemukakan suatu kutipan yang terkenal mengenai masa depan perbankan: “banking is necessary, but banks are not”. Ujaran ini dikemukakan menjelang fajar ekonomi baru yang dipicu oleh kelahiran Internet. Bill Gates memprediksi bahwa model bisnis bank yang waktu itu didominasi kantor cabang akan segera menjadi kenangan. Produk-jasa perbankan akan ditawarkan oleh entitas bukan bank; dan dengan demikian bank “diprediksi” akan punah. Suatu prediksi yang sangat berani terhadap suatu bisnis yang “konon” telah ada sejak 2000 tahun sebelum masehi. Pernyataan tersebut telah berusia 27 tahun; alih-alih ditenggelamkan, perbankan diberbagai penjuru dunia (sejauh ini) terlihat dapat berselancar dengan baik diatas gelombang demi gelombang teknologi.

Bank adalah bisnis dengan model produksi dua tahap: tahap pertama bank menghimpun dana dari nasabah (dalam bentuk simpanan) yang kemudian disalurkan dalam bentuk kredit (tahap kedua). Ketika melakukan proses produksi tahap pertama; bank melakukan peran ekonomi makro kritikal: penciptaan uang (likuiditas). Simpanan nasabah di bank (giro, tabungan dan deposito) adalah komponen uang beredar. Ketika bank melakukan penyaluran kredit; ia kembali melakukan fungsi ekonomi makro: menggandakan stock uang beredar (money multiplier). Penyediaan stok uang dan penggandaannya adalah jantung perekonomian; mayoritas regulator didunia menggunakan pendekatan yang sangat konservatif pada industri ini. Tidak mudah masuk ke industri perbankan (dan juga tidak mudah keluar), yang menjadi proteksi regulasi bagi ancaman kompetisi eksternal terhadap perbankan (suatu blessing in disguise).

Gelombang teknologi terakhir telah membawa fenomena “FinTech”; yang beberapa futurolog kembali memprediksi akan membawa kepunahan bagi bank. Sejauh ini yang dilakukan oleh FinTech baik di Indonesia maupun negara lain adalah “mencuil” sebagian bisnis bank seperti pinjaman retail, dompet digital dan lalu lintas pembayaran (transfer). Perbankan telah menghadapi kompetisi semacam ini sejak dulu; sebagai contoh pabrikan mobil menyediakan fasilitas financing bagi pembelinya. Generasi baby boomers tentu masih ingat Diners Club; suatu merek kartu pembayaran yang menjadi cikal bakal dompet digital dan kartu kredit. Perusahaan ini “dicaplok” oleh Citibank pada tahun 1981; dan sekarang menjadi divisi Bank of Montreal Canada.

Terdapat beberapa bank yang telah mendeklarasi diri sebagai fully digital platform. Bank adalah perusahaan yang mengkonversi dana simpanan menjadi kredit; mengubah sebagian atau seluruh platform bisnis-operasional tidak akan merubah definisi. Yang menarik adalah memprediksi apakah bank-bank innovator ini berhasil menjadi raja dan mencaplok bank-bank raksasa petahana, atau sebaliknya bank-bank innovator ini adalah suatu eksperimen yang akan dicaplok bank petahana (jika sukses). Kearah manapun yang terjadi; individu-individu yang memiliki aspirasi menjadi bankir harus melakukan transformasi paradigma.

Suatu survey yang dilakukan oleh Accenture (2018) menunjukkan dinegara maju seperti AS, Kanada, Perancis dan Hong Kong; masyarakat masih mengharapkan adanya kehadiran bank dalam bentuk kantor cabang (disebut preferensi phygital). Masyarakat di negara seperti Indonesia, Malaysia dan Mexico bahkan digolongkan sebagai preferensi physical; cenderung melakukan transaksi perbankan di kantor cabang (atau dengan bankir). Kedepan kanal produk-jasa bank akan berbentuk suatu bauran yang terdiri dari anjungan layanan mandiri (self-service pod), bentuk hybrid (layanan terbatas dengan asistensi manusia) dan bentuk konvensional: kantor cabang (McKinsey, 2018 dan CapGemini, 2019).

Tidak diragukan, kemajuan teknologi telah sangat membantu serta merubah bisnis bank. Pada bisnis pinjaman misalnya, Artificial Intelligence (AI) dan teknologi database; memungkinkan bankir untuk belajar banyak dari sejarah pemberian kredit. Aktivitas pembelajaran ini melahirkan insight-insight yang sangat berharga mengenai kemampuan membayar (ability to pay) maupun kemauan membayar (willingness to pay). Perilaku posting di social media, situs internet yang sering dikunjungi serta perilaku mobilitas menggambarkan kemampuan dan karakter kredit seseorang; yang tampaknya lebih baik dibandingkan informasi tradisional seperti neraca dan laba-rugi (Anderson dan Hardin, 2019).

Saat ini isu bisnis terbesar bagi pimpinan bank adalah menentukan pada nominal berapa (cut off) pemberian kredit akan diputuskan oleh (i) sepenuhnya mesin, (ii) kerja bareng mesin dan manusia serta (iii) sepenuhnya manusia. Kredit nominal kecil adalah produk dengan profitabilitas berbasis pada tingkat perputaran (turn over). Sedangkan kredit nominal besar memilki profitabilitas yang berbasis pada margin. Pemberian kredit nominal kecil umumnya diberikan kepada mesin; sedangkan yang besar akan diputuskan melalui suatu komite kredit. Kenapa masih perlu komite kredit? Sebagai orang yang pernah satu dekade berkarir di bank; pelajaran yang didapat penulis mengatakan inilah “harga” seorang bankir. Bankir jagoan adalah mereka yang mampu melihat behind the numbers; dan mendapatkan “feel” apakah seseorang/entitas itu layak atau tidak diberi pinjaman. Bankir juga sosok yang dapat melakukan proteksi diri (serta bank nya) dengan baik; jika “feel” nya “salah”; bagaimanapun juga bankir adalah manusia.

Isunya dengan demikian adalah berapa angka yang disebut nominal kecil serta bauran bisnis yang dipilih. Hal tersebut ditentukan oleh visi and misi bank yang selanjutnya akan dijabarkan melalui kebijakan pengelolaan risiko. Bank adalah entitas yang memperoleh laba dengan mengambil serta mengelola risiko (Koch et al, 2014).

Dengan perkembangan zaman; bank-bank mendapati bahwa pengalaman dan skill mengelola risiko ini dapat dikemas dan dijual kepada nasabah. Produk-jasa bank untuk membantu nasabah dalam memitigasi risiko baik secara parsial maupun keseluruhan dikenal sebagai hedging. Di Indonesia, bank dapat membantu nasabah melakukan hedging terhadap risiko nilai tukar dan suku bunga melalui forward, option dan swap. Di negara maju; bank bahkan dapat membantu nasabah menangani risiko flutuasi komoditas, suhu, kelembapan dan lainnya. Ini adalah produk yang sangat spesifik: disesuaikan dengan kebutuhan nasabah (tailored made). Kemampuan menawarkan produk hedging juga ditopang oleh kemajuan teknologi: kapasitas komputasi.

Seorang bankir akan dituntut untuk memiliki paradigma seorang dokter. Diagnosa dan tindakan medis yang tepat adalah apa yang diandalkan dari seorang dokter. Pada banyak situasi; penyakit dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan sederhana; yang sekarang bahkan sudah dilakukan via internet. Sangat diragukan sekali ada orang atau dokter yang bersedia melakukan transaksi medis di”tengah jalan” (kecuali emergency tentunya). Singkatnya bank adalah tempat bankir melakukan profesinya; sepert halnya klinik bagi dokter. Di bank terdepat peralatan, kebijakan dan prosedur untuk melakukan profesi bankir; apakah sekarang bank ini berupa gedung atau virtual bukan isu substantif. Kemampuan penggunaan dan adaptasi terhadap perkembangan teknologi yang relevan adalah basic working knowledge bagi banyak profesi; bukan hanya bankir.

Gelombang teknologi akan “menenggelamkan” aktivitas-aktivitas manual dan perulangan (repetitive) di bank; yang akan di by pass atau diganti oleh robot. Kajian Chartered Global Management Accountant – CGMA (2019) menekankan pentingnya pergeseran paradigma dari identifikasi dan pemahaman masalah (information and insight) kepada solusi yang persuasif serta efektif (influence and impact) bagi profesi dunia keuangan. Singkatnya kedepan meniti karir menjadi bankir membutuhkan passion untuk bermitra dengan nasabah. Ketika mengusulkan suatu solusi pengelolaan keuangan; bankir harus memposisikan diri sebagai nasabah. Hanya dengan memposisikan diri sebagai nasabah; maka solusi yang ditawarkan baru terasa “tulus” dan “berdampak”.

Tulisan ini telah dipublikasikan pada kolom opini CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/opini/20210714170929-14-260885/menatap-masa-depan-profesi-bankir