Dilihat dari jumlah orang, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) adalah pelaku ekonomi terbesar di Indonesia. Data Kementerian Koperasi dan UMKM menunjukkan per akhir tahun 2019; terdapat hampir 65.5 juta usaha UMKM (99.9% total usaha nasional) yang menyerap lebih dari 119.5 juta tenaga kerja (96.9% tenaga kerja nasional). Dari jumlah tersebut sebanyak 64.6 juta (98.7% total usaha nasional) adalah usaha mikro yang meyerap lebih dari 109.8 juta tenaga kerja (89% tenaga kerja nasional). UU No 20 tahun 2008 mendefinisikan usaha mikro sebagai usaha dengan omset sampai dengan 300 juta (atau modal sampai dengan Rp. 50 juta). Sedangkan usaha menengah memiliki omset antara Rp. 2.5-Rp. 50 Milyar; modal antara Rp. 500 juta-Rp. 10 Milyar.

Meskipun memiliki jumlah anggota terbesar; kontribusi terhadap output nasional: produk domestik bruto masih belum dapat dikatakan proporsional. Per akhir tahun 2019; kontribusi terhadap PDB dari sektor UMKM adalah 60.5%; atas dasar harga berlaku atau 57.1%; atas dasar harga konstan. Gambaran ini lumayan timpang dengan statistik jumlah usaha dan serapan tenaga kerja. Tentu saja kita harus memperhitungkan bahwa suatu porsi yang besar dari usaha mikro sebenarnya adalah “selambu” dari pengangguran terbuka. Sebagai gambaran profile yang lebih proporsional; data World Trade Organization (WTO) menunjukkan di negara maju 90% entitas bisnis adalah UMKM; dengan share Tenaga Kerja: 60-70% dan share PDB 50%.

Ketika membicarakan UMKM; kita tidak dapat lepas dari kewirausahaan. Kewirausahaan adalah “jiwa” bagi pebisnis yang mendedikasikan hidupnya untuk selalu menghasilkan nilai komersial (Gaddefors, Anderson, Alistair, 2017). Menurut Schumpeter (1934); kewirausahaan merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi negara melalui peran garda terdepan inovasi dan alokasi sumberdaya. Kewirausahaan mungkin memilki usia yang sama dengan kemanusiaan. Namun demikian; sukses-tidaknya suatu wirausaha tetap merupakan suatu misteri besar. Studi-studi teoritis dan empiris masih belum dapat merumuskan konsep kewirausahaan yang universal dan robust; serta merumuskan kiat praktisnya. Semuanya masih sangat kontekstual: kesimpulan tergantung jenis usaha, karakter masyarakat (sosial, politik dan budaya) dan linimasa (Kuratko; 2016).

Akibatnya Kewirausahaan menjadi suatu training dan mata kuliah fancy yang memadukan “mimpi” dengan teori-perangkat bisnis seperlunya. Tentu saja sebuah “mimpi” diperlukan untuk memulai perjalanan wirausaha. Namun demikian tetap sejatinya wira usaha sukses adalah hasil penempaan; bukan dilahirkan apalagi hasil pendidikan. Suatu estimasi hasil akhir perjalanan wirausaha yang dapat dikatakan “lumayan” optimis diberikan oleh Leach and Melicher (2018). Hanya sekitar 20% dari ide wirausaha dapat menggapai impiannya (disebut sebagai Utopian Dream). Sekitar 60%; pada akhir akan berakhir sebagai bisnis “break even”; menghabiskan tenaga tidak sebanding dengan labanya; disebut sebagai Living Dead. Yang paling parah; sekitar 20% wirausaha pada akhirnya harus menyerah setelah menghabiskan banyak uang (disebut Black Holes).

Gelombang ekonomi baru (new economy) yang muncul kurang 10 tahun belakangan ini telah membuka cakrawala baru bagi UMKM. Ekonomi baru bertopang kepada tiga pilar (a) internet platform, (b) shared economy dan (c) high technology (Martani, 2020). Lihat sekeliling kita begitu banyak bisnis yang mungkin bahkan tidak terlintas dalam pikiran 10 tahun yang lalu. Ride hailing, market place, pendidikan on line dan peer to peer lending hanyalah segelintir contoh. Kreasi bisnis baru di era new economy hanya akan dibatasi oleh imajinasi. Menjadi tech savvy adalah keunggulan komparatif yang sangat besar tapi bukan segalanya. Masih banyak bisnis-bisnis “tradisional” seperti restoran, makanan, pemasok manufaktur dan agri-bisnis yang tidak akan pernah lekang oleh zaman. Bisnis tambang; terlihat mengalami “kebangkitan”; seperti terlihat pada nikel yang trending belakangan ini. Dengan perkataan lain; mengembangkan wira usaha dilakukan bukan dengan “hype”.

Keahlian kunci yang harus dimiliki seorang wira usaha mungkin hanya tiga (Kuratko, 2016): (a) keahlian “mengendus” kesempatan bisnis, (b) keuletan dan (c) mencari pendanaan. Keahlian “mengendus” dan keuletan merupakan aktivitas penempaan dan lebih bersifat personal; namun pendanaan merupakan area kebijakan publik. Penyediaan pendanaan bagi benih wira usaha (start-up) yang sering disebut sebagai seed capital saat ini masih sangat tergantung kepada dana pribadi dan inner circle (orang tua, saudara, istri-suami, kerabat dan sahabat). Penyediaan dana dari pihak-pihak komersial masih belum ditumbuhkan secara sistematis.

Leach dan Melicher (2018) menggambarkan kondisi finansial start-up layaknya bayi manusia yang baru lahir: “berdarah-darah” dan mutlak tergantung kepada “perawatan” intensif. Tentu saja pendanaan konvensional melalui pinjaman bank apalagi pasar modal; nggak masuk dalam kriteria. Pendanaan harus bersifat lunak dan fleksibel; mengingat periode perjuangan dapat berlangsung hingga bertahun-tahun. Salah satu bisnis yang menekuni pendanaan terhadap start-up adalah modal ventura (venture capital). Pendanaan modal ventura biasanya berupa persilangan antara modal dan pinjaman; karakter mana yang mendominasi akan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Berbeda dengan bank; modal ventura tidak melihat kinerja historis, tetapi menitik beratkan aspek kualitatif: karakter pemilik dan masa depan bisnis. Modal ventura melakuka evaluasi seberapa besar upaya yang dikeluarkan oleh pemilik dan team manajemen nya; dan melakukan assessment apakah upaya tersebut akan mampu menghasilkan ceruk pasar yang memadai untuk tumbuh kembang.

Analisa kualitatif yang dilakukan oleh modal ventura tentu saja rentan terhadap kesalahan: mendanai bisnis yang akhirnya gagal. Modal ventura memasukkan potensi kesalahan ini kedalam pricing pendanaan. Dengan demikian tidak mengherankan pendanaan tersebut menjadi sangat mahal. Studi Kerins, Smith and Smith (2004) pada start-up di Amerika Serikat; memperkirakan biaya pendanaan rata-rata mencapai 40% per tahun (sangat mungkin juga sama untuk Indonesia). Disini terdapat potensi intervensi kebijakan. Biaya modal sebesar 40% sudah nggak masuk akal untuk korporasi; apalagi UMKM. Tapi ini adalah perhitungan yang wajar, mengingat tinggi nya potensi gagal perusahaan-perusahaan start up. Suatu desain kebijakan dapat dibuat untuk mengurangi biaya tersebut kelevel yang lebih dapat di”cerna” oleh UMKM; misalnya melalui subsidi dan asuransi pendanaan. Dapat dibuat skema untuk menanggung; katakan 30%-50% biaya kegagalan pendanaan modal ventura yang terbukti berasal dari risiko bisnis.

Desain kebijakan tersebut akan jauh lebih efektif dibandingkan model kompetisi hibah yang banyak dilakukan saat ini. Daripada memperlakukan start up bagaikan peserta celebrity contest yang berebut status “stardom” plus hadiah pendanaan, akan lebih baik pemerintah membuat suatu program pendanaan bisnis “membumi”, berkesinambungan, jumlah ketersediaan yang lebih banyak (accessibility). Model bisnis pendanaan UMKM tetap mengedepankan aspek komersial; tetapi dibackup oleh subsidi atas risiko bisnis paling tidak hingga UMKM tersebut layak untuk memperoleh pendanaan dari sumber yang konvensional seperti bank. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan tanggung jawab pemilik; dapat juga didesain konsekuensi atas kegagalan usaha akibat fraud atau shirking (bekerja dibawah optimal). Ketersediaan akses, harga yang reasonable dan akuntabilitas adalah tiga prinsip kunci bagi penyediaan dana wirausaha.

Tulisan ini telah dimuat pada harian Kompas 10 Juni 2020: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/06/10/pemberdayaan-wirausaha-di-era-ekonomi-baru/