Menjelang akhir tahun 2020, Pemerintah merealisasikan terobosan kebijakan ekonomi yakni Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) Indonesia. Institusi yang lahir dari amanat UU Ciptaker ini sangat diharapkan dapat memobilisasi dana terutama dari luar negeri (dalam bentuk direct investment) untuk memanfaatkan berbagai kesempatan bisnis yang ada di Indonesia khususnya proyek infrastruktur. LPI digadang-gadang menjadi game changer bagi strategi pembangunan ekonomi. Dasar hukum pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) bagi LPI adalah PP Tahun 74 Tahun 2020.

LPI akan memperoleh pendanaan dari pemerintah sebesar Rp. 75 Triliun sebagai modal usaha.  Dengan modal awal tersebut; pemerintah berharap setidaknya dapat mengundang dana asing sebesar Rp. 225 Triliun. Terus terang awalnya agak surprise dengan penggunaan istilah SWF. SWF umumnya lahir dari negara yang memiliki surplus: fiskal dan/atau neraca berjalan (Alhashel, 2015). Jika suatu negara telah memiliki surplus yang dapat diandalkan; maka suatu SWF akan didirikan untuk mengelola surplus tersebut. Sedangkan Indonesia, nyaris tidak pernah mengalami surplus fiskal dan/atau neraca berjalan dalam dua puluh tahun terakhir. Dengan demikian sejatinya LPI lebih mirip pengelola proyek-proyek kemitraan pemerintah-swasta: holding public private partnership. Indonesia menggunakan National Investment and Infrastructure Fund (NIIF); “SWF” yang dimiliki oleh India sebagai benchmark.

Terlepas dari perdebatan semantik dari “SWF” (yang dalam literatur juga belum tuntas), terobosan kebijakan tersebut perlu diappresiasi. Harus diakui bahwa Indonesia mengalami masalah defisit pembiayaan yang kronis. Untuk infrastruktur saja, kebutuhan pendanaan pada periode 2020-2024 diperkirakan mencapai Rp. 6445 Triliun. Tanpa pendanaan yang memadai; maka penyediaan infrastruktur akan terhambat. Akibatnya banyak kesempatan produktif yang ada didalam negeri tidak dapat dimanfaatkan dan perekonomian bekerja dibawah kurva optimal nya. Dengan demikian berupaya mendatangkan dana dari luar negeri adalah suatu langkah yang sangat logis dimana pembentukan LPI adalah edisi kebijakan terkini.

Membaca dari Bab V PP No. 74 terlihat bahwa institusi ini didesain sebagai suatu “kendaraan pembiayaan” dengan spektrum luas dan sangat fleksibel.  Dalam bahasa gaulnya: bisnis LPI adalah “palugada”: apa yang lu mau, gue ada.  Aset dari LPI tidak hanya berbentuk investasi pada proyek infrastruktur tapi juga mencakup aset finansial seperti surat berharga serta bisnis konvensional seperti pabrik. Dari sisi pembiayaan disamping dana pemerintah, LPI didorong untuk mencari pendanaan dari luar yang juga variatif dan fleksibel. LPI dapat mendesain pembiayaannya dalam bentuk pinjaman, partisipasi modal, dana perwalian (trust fund) dan bentuk lainnya. Dengan tingkat kemajuan ilmu keuangan saat ini; desain instrument sisi aset maupun kewajiban dari LPI hanya akan dibatasi oleh “imajinasi” pengelolanya.

Tulisan ini akan menyampaikan beberapa catatan terkait dengan operasionalisasi “SWF” Indonesia terutama dari aspek manajemen risiko. Pertama, perlu diingat bahwa bisnis palugada adalah pisau bermata dua. Ia bisa menjadi keunggulan (diversifikasi bisnis) sekaligus kelemahan (loss of span of control manajemen). Sepanjang pengetahuan penulis; hanya segelintir investment bank global dengan puluhan tahun pengalaman dan reputasi yang solid, memiliki kompetensi serta risk appetite seperti ini. Merekrut pucuk pimpinan yang memiliki kualifikasi tersebut adalah syarat perlu (necessary condition) tetapi jelas tidak mencukupi (not sufficient condition). Infrastruktur dan culture organisasi yang berorientasi risiko perlu menjadi prioritas nomor satu bagi manajemen LPI; tidak semata mengejar “return”.

Kedua, meskipun pemerintah telah menegaskan bahwa institusi ini akan mengutamakan dana eksternal dalam bentuk ekuitas namun karakter organisasi kuasi pemerintah tetap tidak dapat dinafikan. Apa risiko nya? Sovereign risk: rating investasi Indonesia. Tidak semua proyek apalagi infrastruktur menghasilkan return yang teridentifikasi dan dapat dipisahkan dengan baik (earmarked). Pembangkit listrik, pelabuhan dan bandara adalah contoh proyek semacam ini. Tetapi bagaimana dengan jalan raya, fasilitas umum, administrasi pemerintah dan keamanan? Perlakuan standar “komersialisasi” terhadap proyek-proyek ini adalah melalui shadow pricing. Disini pemerintah bertindak sebagai pembeli yang akan membayar semacam “sewa atau cicilan” atas penyediaan proyek tersebut.

Selama ini proyek-proyek yang tersebut berada didalam kelolaan APBN sehingga risiko fiskalnya telah ditakar dan dikelola dengan baik. Bagaimana ketika mereka dikelola oleh LPI. Tentu terlalu naif untuk berpikir itu adalah risiko bisnis yang ditanggung sepenuhnya oleh LPI dan mitra investor nya. Investor mau bermitra dengan LPI karena tahu “ada” pemerintah dibelakangnya; jika terjadi “miskalkulasi” tentu “bisa” beda cerita dengan investasi swasta murni. Perbedaan cerita ini telah tersirat pada pasal 72; perihal kepailitan LPI. Tentu lembaga rating memahami sekali mekanisme ini dan akan memasukkannya kedalam perhitungan sovereign risk rating Indonesia. Risiko ini perlu dipahami oleh pengelola LPI.

Ketiga, transparansi, akuntabilitas dan governance di LPI masih perlu diperkuat. Transparansi dan akuntabilitas LPI diatur sebagai berikut (a) laporan keuangan diaudit KAP terdaftar di BPK atau OJK serta diumumkan ke publik (pasal 52) serta (b) tanggung jawab kepada Presiden (pasal 54). Isu terkait transparansi pada LPI adalah karena sangat kompleks nya model bisnis; nilai informasi laporan keuangan konvensional (neraca, laba rugi dan arus kas) yang dihasilkan tetap saja sulit dicerna (opaque); Megginson and Fotak (2015). Untuk itu LPI perlu melakukan public expose untuk beberapa proyek yang memiliki nilai sangat besar. Mengkomunikasikan kepada publik mengenai nilai komersiil suatu proyek harus menjadi tradisi bagi LPI.  Selanjutnya mengingat LPI adalah suatu institusi dengan misi khusus; maka pembinaan manajemen diberikan kepada menteri keuangan (pasal 73). Mengingat potensi keterkaitan LPI dengan sistem finansial domestik juga cukup besar; maka diharapkan Menteri Keuangan dapat membuat pengaturan teknis lanjutan perihal pembinaan yang mengikut sertakan OJK dan BI.

Akhirnya nilai tambah dari LPI akan terpulang kepada detail strategi bisnis; kemampuan eksekusi dan integritas dari manajemennya. Manajemen harus menunjukkan independensi dan integritas dengan mengedepankan investasi proyek yang memiliki nilai komersial yang tinggi. Pernyataan risiko: risk appetite dan risk tolerance menjadi salah satu hal yang perlu dilakukan pertama kali oleh manajemen terpilih; untuk menjaga haluan bisnis LPI serta pengembangan perangkat manajemen risiko yang relevan: enterprise risk management (Lam, 2017).  Updating kepada pernyataan risiko dilakukan secara terukur dengan mengacu kepada perkembangan kompetensi serta kematangan organisasi. Dengan demikian tujuan pendirian LPI (pasal 5) yakni meningkatkan dan mengoptimalkan nilai Investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan diharapkan dapat dicapai.

Tulisan ini telah dimuat pada website CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/opini/20210301165826-14-226999/harapan-pada-lembaga-pengelola-investasi-beberapa-catatan