Pasar saham mungkin suatu wilayah interaksi komersial antar manusia yang paling dinamis dan sering menimbulkan kontroversi. Salah satu kontroversi terkini adalah “perlawanan investor retail” untuk saham Game Stop di Amerika Serikat yang terjadi sepanjang Januari 2021 hingga tulisan ini dibuat. Game Stop adalah suatu perusahaan publik yang bergerak dibidang retailer produk game elektronik melalui platform toko diberbagai penjuru Amerika. Perkembangan teknologi: platform virtual serta pandemi Covid 19 telah memukul kinerja keuangan perusahaan. Melihat kondisi ini tentu wajar saja ketika sejumlah investor melihat harga saham menjadi overvalued dan mulai ambil posisi jual.

Posisi jual dalam pasar saham umumnya dilakukan dengan short selling; yakni meminjam saham milik investor lain dan menjual nya. Jika ekspektasi menjadi kenyataan; harga saham perusahaan tersebut jatuh maka investor short sales akan membeli kembali saham tersebut pada harga yang sekarang lebih rendah dan mengembalikannya kepada investor semula. Ia akan mendapatkan keuntungan sebesar selisih harga jual dan harga beli dikurangi biaya bunga pinjaman. Mekanisme ini telah dikenal sangat lama dipasar saham dan merupakan disciplining device bagi manajemen emiten perusahaan terbuka. Manajemen perusahaan publik akan sangat berhati-hati dalam melakukan bisnis agar tidak “mengecewakan” investor; yang berujung kepada “hukuman” short selling.

Dalam kasus Game Stop (dan beberapa saham serupa lainnya), hal yang berbeda terjadi. Ketika suatu group investor diantaranya yang terbesar adalah Melvin Capital mulai melakukan short sales karena persepsi overvalued; group investor lain yang merupakan komunitas retail dikenal dengan nama WallStreetBets berpikir sebaliknya. WallStreetBets bahkan menganggap bahwa aksi yang diambil oleh Melvin Capital dan teman-temannya adalah tidak adil bahkan dipersepsikan sebagai menjurus kepada “bullying” oleh pemain besar kepada pelaku sektor rill yang sedang dalam kondisi “lemah”. WallStreetBets adalah suatu komunitas investor di internet yang menggunakan platform Reddit.

Sangat menarik dan “menakutkan” melihat bagaimana topik forum diskusi internet “membela yang lemah” segera bertransformasi menjadi aksi nyata “perlawanan” dimana investor forum tersebut ramai-ramai membeli saham Game Stop. Sebelum “perlawanan” WallStreetBets diperkirakan memiiki jumlah anggota 4.4 juta; seminggu kemudia jumlah anggota melejit ke 6.6 juta. Asumsikan saja 20% anggota kontribusi sebesar 1000 USD; ini adalah aksi beli kolektif senilai USD 1.32 Milyar. Akibatnya? Alih-alih jatuh; harga saham Game Stop meroket tidak terkendali higga mencapai 2500% sepanjang Januari 2021; dari USD 18.8 menjadi USD 483. Tentu saja ini menjadi mimpi buruk bagi Melvin Capital dan teman-temannya; yang sebagian dipaksa menutup posisi (short covering) atau menanggung potential losses yang diperkirakan oleh Business Insiders mencapai USD 19 Milyar. Melvin Capital sendiri dilaporkan telah memperoleh suntikan modal dari suatu raksasa Wall Street: Citadel.

Cerita pertarungan David versus Goliath tersebut sekarang memasuki babak baru. Robinhood, perusahaan penyedia online platform trading utama bagi komunitas WallStreetBets mengumumkan akan berhenti melayani transaksi pembelian saham Game Stop. Dapat ditebak selanjutnya berkembang teori konspirasi dimana Robinhood diduga telah “diintervensi”. Kasus ini tentu menarik perhatian berbagai stake holders pasar modal dan otoritas (Securities Exchange Commission; SEC) telah meluncurkan gugus tugas investigasi.

Seharusnya pembentukan harga saham bukan merupakan suatu yang sangat complicated. Teori pakemnya: intrinsic value sangat logis dan straight forward, harga saham sebagai proksi nilai perusahaan adalah nilai kini (present value) dari jumlah seluruh aliran kas masuk bersih (cash inflow). Variasi valuasi saham antar investor terutama berasal dari perbedaan jenis suku bunga diskonto dan asumsi prospek perusahaan (Damodaran, 2012). Harus diakui bahwa pengambilan keputusan juga sering dilakukan dalam kondisi less than rationale.  Hal ini telah lama menjadi perhatian seperti yang didokumentasikan oleh karya Selden (1912), Fessinger (1956) dan Pratt (1964). Namun sebagai cabang studi yang sistematik aspek “keperilakuan” dianggap baru lahir dengan nama behavioral finance melalui prospect theorem karya Kahneman dan Tversky (1979). Banyak sekali konsep kontemporer berbasis asumsi less than rationale berkembang seperti framing, anchoring, noise traders dan bias (Ramiah, Soo dan Moosa, 2015).

Dikaitkan dengan fenomena Game Stop; aspek behavioral finance yang relevan adalah herding behavior berbasis reputasi (Scharfstein and Stein, 1990). Namun demikian aspek sentimen; “perlawanan terhadap status quo: Wall Street Establishment” merupakan sesuatu yang baru. Event masih dalam progress dengan hasil yang belum diketahui. Yang jelas, banyak pihak-pihak didalamnya terjerat dalam situasi yang dilematis. Per tanggal 2 Februari 2020, harga saham Game Stop berada dikisaran USD 137, lebih dari 28 kali Price to Book (PB); jauh diatas rule of thumb overvalued stock sebesar 3-5x. Untuk saham dengan float yang terbatas seperti Game Stop mungkin pengikut WallStreetBets dapat mempertahankan posisi valuasi ekstrim ini untuk beberapa waktu hingga lawan “menyerah”; tapi jelas tidak permanen.

Situasi seperti yang dideskripsikan diatas disamping tidak konstruktif juga berbahaya. Potensi kerugian mencapai milyaran USD menjadi beban bagi salah satu pihak (short atau long position); terutama bagi mereka yang berada dalam “gerbong terakhir”. Dengan valuasi yang ekstrim dan tipisnya pasar; sulit membayangkan proses “normalisasi” harga dapat dilakukan secara teratur. Fenomena ini juga merusak reputasi pasar saham. Suatu mekanisme yang seharusnya dapat menjadi alat alokasi resources langka: modal secara efektif dan efisien “ternoda” akibat sengketa yang bearoma “sentimental” ini. Bagaimana kedepannya investor dapat percaya untuk mendukung suatu commercial venture; jika terdapat risiko sentiment seperti ini?

Harus diakui bahwa pasar bukan mekanisme alokasi sumber daya yang sempurna; tetapi ia adalah salah satu yang terbaik dimiliki peradaban manusia. Fenomena “Menggoreng”, Bubble dan Krisis yang terjadi dari waktu ke waktu menunjukkan mekanisme ini rawan manipulasi dan disrupsi. Apakah fenomena baru “perlawanan” kepada penguasa Wall Street akan here to stay? Mungkin! Banyak pakar yang memperkirakan investigasi yang sedang dilakukan oleh SEC akan berujung pada dilema. Baik aksi yang dilakukan oleh Melvin Capital maupun WallStreetBets (dan teman-temannya) diperkirakan adalah legal; meskipun berujung kepada harga yang sangat tidak wajar. Sulit untuk memberikan sanksi kepada salah satu pihak.

Apa yang terjadi di Amerika Serikat ini; sangat mungkin terjadi dimana saja termasuk Indonesia. Teknologi platform sosial media dan retail investment sangat murah dan dapat diakses oleh siapa saja. Kesenjangan dan kecemburuan sosial adalah karakter yang melekat pada hampir seluruh masyarakat didunia.  Namun demikian bukan berarti bahwa preseden ini dapat dianggap sebagai suatu yang wajar: bagian dinamika pasar. Edukasi khususnya mengenai investment ethics perlu dijalankan dan code of conducts mungkin perlu diupdate; atau bahkan mungkin diupgrade menjadi aturan. Pertarungan ini jelas tidak sehat; yang berujung kepada menguapnya kekayaan banyak orang berpindah kepada segelintir “arsitek perlawanan” dan orang “beruntung” yang merupakan suatu kontradiksi kepada semangat dari pasar saham itu sendiri.

(Tulisan ini telah dimuat pada Harian Bisnis Indonesia tanggal 15 Februari 2021; penulis Dr. Moch Doddy Ariefianto)