Tahun 2020, yang akan segera berakhir dalam hitungan hari, akan menjadi kenangan pahit yang mendalam bagi semua insan ekonomi di dunia. Segera setelah dinyatakan sebagai pandemi global pada tanggal 12 Maret 2020; berbagai negara didunia bergegas menindak lanjuti saran WHO melalui kebijakan locked down. Dengan “menutup diri” diharapkan transmisi virus tersebut dapat dihambat sembari “membeli waktu” untuk pengembangan pengobatan dan vaksin yang efektif. Kebijakan ini cukup sukses mengurangi laju pertambahan kasus namun ongkos ekonomi yang dibayar sangat mahal. IMF dalam review rutin bulan Oktober 2020 memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia tahun 2020 mengalami kontraksi sebesar 4.4%; suatu angka yang tidak pernah terlihat sejak perang dunia kedua. PDB Indonesia sendiri diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 1.5%; terdalam sejak krisis 1998.

Industri farmasi diberbagai negara berlomba untuk menemukan pengobatan dan vaksin terhadap virus ini. Laporan dari WHO menunjukkan terdapat 36 kandidat vaksin yang telah mencapai fase uji coba klinis pada manusia. Emergency authorization tampaknya akan dilakukan oleh banyak negara agar aktivitas perekonomian dapat segera pulih kembali. Ongkos “kemanusiaan” berupa PHK dan Lay Off akibat anjloknya aktivitas perekonomian dipandang tidak kalah besar dengan dampak langsung pandemi. Lembaga think tank seperti CGDEV dan Oliver Wyman memperkirakan vaksin sudah dapat tersedia secara masal pada semester II tahun 2021.

Dampak ekonomi terbesar tentu terjadi pada sektor yang sangat tergantung dengan mobilitas manusia seperti transportasi, pariwisata, restoran, hotel dan hiburan. Saat ini dampak tersebut telah ditransmisikan ke seluruh sektor ekonomi. PDB Indonesia telah terkontraksi sebesar 5.3% pada kuartal II dan pada kuartal ke III kontraksi sebesar 3.5%. Dengan semakin tingginya adaptasi terhadap protokol kesehatan (new normal); terlihat berbagai leading indicator perekonomian menunjukkan formasi bottoming out. Purchasing Manager Index (PMI) per bulan Oktober 2020 telah berada dikisaran 48; setelah sempat terjun ke 27.5 pada bulan April 2020. Jika PMI berada diatas angka 50, berarti perekonomian telah kembali dalam fase ekspansi.

Risiko terbesar bagi perbankan saat ini adalah kualitas kredit. Langkah OJK menerbitkan relaksasi penilaian kolektibilitas kredit dan restrukturisasi (POJK No. 11/2020) diawal pandemi perlu diapresiasi. Dengan regulasi ini, debitur dan bank dapat mengelola arus kas dan kebutuhan permodalan yang beradaptasi dengan situasi pandemi dengan tetap menjaga compliance kepada regulasi. Per 5 Oktober 2020 tercatat 7.53 juta debitur dengan outstanding pinjaman sebesar Rp. 914.6 Triliun yang memperoleh manfaat dari relaksasi ini (Bisnis.com, 2 November 2020).

Namun demikian perlu dipahami relaksasi ini hanyalah “pain killer” bukan obat definitif terhadap akar masalah. Kredit restrukturisasi sebesar Rp. 914.6 Triliun, 16.5% dari total kredit, meskipun dapat dikategorikan lancar secara de jure tetapi de facto tetap merupakan kredit bermasalah. Restrukturisasi yang dilakukan melalui perpanjangan jangka waktu, penundaan cicilan, refinancing, pemangkasan denda/bunga/pokok, konversi pinjaman ke modal dan baurannya tetap merupakan biaya dan risiko kredit bagi bank. Anjloknya ekpansi kredit dan biaya restrukturisasi telah menyebabkan keuntungan bersih bank per September 2020 terkoreksi tajam sebesar 29% y/y.  Net Interest Margin (NIM) yang terkoreksi sebesar 0.5% menjadi 4.4% dan kenaikan rasio Biaya Operasional terhadap Pendapat Operasional (BOPO) sebesar 6.8% (menjadi 86.2%) mengindikasikan dampak negatif restrukturisasi terhadap profitabilitas bank. Tapi situasi ini jauh lebih baik, dibandingkan tidak ada relaksasi; yang dapat berarti bank harus membukukan cadangan biaya penghapusan sebesar kredit restrukturisasi.

Debitur, perbankan dan regulator (BI, LPS dan OJK) perlu mencari solusi yang lebih substantif terhadap masalah ini. Terdapat tiga alternatif strategi yang dapat dipertimbangkan. Yang pertama adalah konversi pinjaman ke modal. Beberapa sektor seperti transportasi, pariwisata dan retail saat ini sangat mungkin beroperasi dibawah variable cost. Boro-boro mencicil pinjaman bank; sebenarnya owner lebih baik menutup bisnisnya dari pada beroperasi. Tapi dengan pertimbangan bahwa dampak pandemi adalah temporer; maka mereka memilih untuk bertahan. Akibat dari pilihan ini; permodalan yang mereka miliki dapat tergerus sangat dalam. Terdapat batas untuk bertahan: yang berkorelasi positif dengan usia bisnis. Terhadap debitur disektor ini; bank perlu mempertimbangkan konversi pinjaman ke modal dengan opsi konversi balik ketika kondisi finansial debitur sudah memungkinkan.

Kedua, bank dapat menggandeng mitra strategis atau finansial dari luar negeri. Likuiditas global saat ini sangat tinggi, jika perkembangan penanganan pandemi berjalan sesuai harapan maka akan banyak investor asing yang “berburu” aset mungkin disekitar kuartal pertama 2021. Perbankan dapat memafaatkan standing Indonesia yang sangat baik didepan investor dengan menjual surat berharga  beragunan kredit (asset backed securities). Dengan demikian beban risiko kredit dapat dibagi bersama dengan “mitra” dari luar negeri. Aktivitas ini disebut sekuritisasi; merupakan salah satu pilihan favorit bagi bank yang menangani perusahaan-perusahaan distress (Gaughan, 2018). Bank dapat menggandeng lembaga rating seperti S&P, Moodys dan Fitch untuk meningkatkan daya tarik.

Baik konversi pinjaman ke modal maupun sekuritisasi belum menjadi suatu model bisnis yang familiar bagi kebanyakan bank di Indonesia; bahkan bagi bank-bank besar. Pandemi ini bisa menjadi bahan pembelajaran bagi banyak pihak: debitur, bank dan regulator untuk mengaplikasikan suatu model bisnis yang sebenarnya biasa dilakukan di negara maju. Hal ini juga merupakan aktivitas pendalaman pasar keuangan (financial deepening). Terakhir, penambahan modal adalah solusi pamungkas; tetapi juga paling mahal. Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan sebesar 23.4% yang semula terlihat “gendut” sekarang terlihat “pas-pas an” mengingat rasio kredit restrukturisasi yang telah mencapai 16.5%. Pemilik bank perlu dimintakan komitmen nyata dalam bentuk stand by capital injection.

Untuk memperoleh hasil yang optimal; ketiga strategi tersebut dibuat dalam bentuk bauran (policy mix) yang disesuaikan dengan kondisi bank. Konversi pinjaman dan sekuritisasi mungkin bagi banyak bank dapat digunakan untuk mengurangi kebutuhan injeksi modal. Terlebih mengingat pulih-normalnya kondisi debitur masih menjadi skenario baseline. Alternatif-alternatif strategi tersebut perlu memperoleh review dan harmonisasi dengan pengaturan yang ada dari regulator (BI, OJK dan LPS). Paket kebijakan yang dihasilkan dapat dibungkus dalam kerangka exit dan normalisasi atas paket relaksasi. Tentu saja tidak wajar berharap setelah lebih dari satu tahun dilanda krisis kesehatan; regulasi kredit bisa langsung kembali normal; tetap harus ada periode transisi. Dengan demikian baik dunia usaha maupun perbankan dapat dijaga sustainabilitas nya sehingga tahun depan dapat menjadi momentum untuk bangkit kembali dengan cepat.

Tulisan ini telah dimuat pada Harian Bisnis Indonesia, 7 Desember 2020.