Mungkin salah satu hype terbesar memasuki dekade kedua millennium baru adalah disrupsi teknologi; yang dibungkus dengan istilah catchy: industry 4.0. Disrupsi teknologi ini telah menyentuh berbagai aspek kehidupan dan bisnis; salah satunya perbankan. Seorang futurolog, Brett King, bahkan menampilkan judul yang cukup kontroversial pada bukunya yang terbit tahun lalu: Bank 4.0, Banking Everywhere, Never at a Bank untuk menggambarkan bagaimana “sadisnya” kemungkinan dampak dari disrupsi teknologi pada industri yang terkenal konservatif ini. Brett King bukan orang yang pertama yang memprediksi hal ini; pada tahun 1994 Bill Gates telah terkenal dengan sindirannya “Banking is essential; banks are not”.

Kenyataannya dilapangan, perbankan dalam bentuk konvensional masih “relatif” berjaya bahkan di negara maju. Sejarah masih harus membuktikan apakah para tycoon technology yang bergerak dibidang keuangan (terkenal dengan sebutan Tech-Fin) seperti Google, Facebook, Chime, Tencent dan Ant Financial pada akhirnya bisa “menekuk” raksasa-raksasa tua seperti Citi, Standard Chartered, HSBC dan lainnya.

Kekuatan terbesar dari bank-bank petahana adalah proteksi “alamiah”. Perlu disadari bahwa bahan baku utama produksi “mesin” perbankan konvensional adalah simpanan (deposits); yang memiliki karakteristik hutang tapi disubsidi (Greenbaum, Thakor dan Boot, 2016). Dalam kacamata akuntansi; simpanan adalah “hutang” yang diberikan oleh para deposan. Namun demikian dalam kacamata regulator; simpanan tidak diperlakukan sebagai hutang seperti standar akuntansi.

Pengalaman berpuluh tahun krisis perbankan; mengajarkan kepada para regulator untuk memberikan perlakukan istimewa terhadap tipe “hutang” ini. Ada dua perlakuan yang istimewa, yakni penjaminan simpanan dan systemic risk. Penjaminan simpanan saat ini adalah standar bagi pengelolaan sistem keuangan suatu negara. Data dari International Association of Deposit Insurer (IADI); menunjukkan 90 negara didunia telah menerapkan skema penjaminan simpanan. Disisi lain, penulis belum tahu hingga saat ini apakah ada suatu penjaminan negara terhadap surat hutang korporasi.

Risiko sistemik; suka atau tidak, ini adalah fitur yang melekat pada industri perbankan. Berbeda dengan industri lain; menutup bank bukan hal yang mudah. Penutupan bank berpotensi menimbulkan efek penularan kepada bank lain; baik secara fundamental (keterkaitan bisnis) maupun psikologis (jatuhnya kepercayaan nasabah kepada sistem perbankan). Pemerintah Inggris “dipaksa” mem bail out Northern Rock, suatu bank kecil, di saat krisis global 2008 menunjukkan potensi risiko sistemik yang nyata. Pakem dan instrument regulasi telah sangat berkembang sejak saat itu untuk menangani risiko sistemik; tetapi “belum diuji oleh waktu”.

Kedua fitur ini yang tidak dimiliki oleh Tech-Fin. Padahal manfaatnya luar biasa; kedua fitur ini memberikan gross safety net subsidy (Laeven, 2000) yang diperkirakan menurunkan biaya (bunga) hutang bagi bank antara 10%-30%. Perbedaan biaya hutang seperti ini saja sudah merupakan keunggulan absolut bagi bank. Alasan financial safety net juga menjadikan industry perbankan memiliki barrier to entry yang tinggi. Untuk memperoleh kedua fitur istimewa tersebut; Tech-Fin harus memperoleh lisensi operasi sebagai bank. Jika hal ini dilakukan maka; Tech-Fin tersebut akan masuk suatu rezim pengaturan yang konservatif, yang mungkin justru counterproductive. Tidak mudah untuk menjadi pemilik bank; tidak cukup dengan hanya punya duit. Bagi yang telah memiliki bank; perjuangan untuk tetap menjadi pemilik juga sama sulitnya.

Sejauh ini para Tech-Fin penantang petahana masih beroperasi (khususnya di Indonesia) pada bisnis “pinggiran” perbankan. Uang elektronik misalnya saya duga orang umumnya menaruh dana pada kisaran Rp. 1 juta per bulan. Dengan demikian saldo besi dari aktivitas ini saya estimasi mungkin sekitar Rp. 10-20 Triliun (bandingkan DPK perbankan yang lebih dari Rp. 6000 Triliun per akhir tahun 2019). Peer to peer lending, mengambil porsi pasar kredit mikro yang mungkin sebenarnya juga tidak masuk dalam “risk appetite” kebanyakan bank-bank besar.

Ada dua pilihan mengatasi dilemma tersebut yakni (a) bank mencaplok Tech-Fin atau (b) sebaliknya Tech-Fin mencaplok bank. Penulis sendiri memiliki preferensi bank mencaplok Tech-Fin. Mengapa? Tech-Fin memang menawarkan kemudahan “super” dalam hidup; namun demikian masih banyak unchartered territory. Ranglin dan Tausig (2019) mengemukakan tiga aspek kritikal bagi bisnis berbasis data seperti bank yakni data privacy, data security dan cyber security. Untuk data privacy saja; perhatikan betapa sekarang ini begitu banyaknya kasus hacking akun social media. Dengan demikian akan lebih baik jika pengembangan bank 4.0 dikomandani oleh individu-individu yang telah ditempa untuk mengelola risiko, yakni para bankir.

Merangkul disrupsi teknologi adalah suatu keharusan bukan pilihan. Menyerahkan kepada mekanisme pasar mungkin bukan suatu kebijakan yang optimal. Hanya soal waktu sebelum para technologist (para pengusung start up) memperoleh ide untuk beradaptasi. Salah satu ekulibrium yang cukup berisiko adalah merebaknya shadow banking. Yang terbayangkan saat ini; Tech-Fin dapat menjual suatu akun enhanced ewallet yang menggabungkan fitur emoney dan investasi melalui jaring penghubung automatic transfer.

Saya tidak lagi menanamkan uang sebesar Rp. 1juta; tetapi bisa Rp. 1 Milyar yang akan dialokasikan secara otomatis menurut order algoritma tertentu kepada emoney dan investasi. Besaran alokasi ini akan dilakukan oleh computer; yang belajar dari perilaku kita. Rekening ini bisa saja ditawarkan sebagai bukan simpanan; investasi. Risiko sistemik hanya membutuhkan jumlah individu yang terikat dalam sistem tersebut. Jika produk tersebut dapat dipasarkan secara massif; akan ada suatu titik waktu dimana regulator akan dipaksa untuk menanggung permasalahan disana dengan dana public (bail out). Sejarah simpanan adalah persis seperti ini; dulu simpanan adalah murni hutang bank.

Ilustrasi diatas adalah shadow banking; yang merupakan risiko terbesar dalam pengembangan perbankan 4.0. Tidak diragukan lagi bahwa disrupsi teknologi akan merevolusi model bisnis yang ada pada bank: para millenial akan menuntut itu. Dari perspektif pembangunan ekonomi; transformasi perbankan 4.0 akan membawa manfaat besar. Inklusivitas yang lebih luas; pilihan yang lebih banyak dan transaksi yang lebih cepat, semuanya adalah manfaat ekonomi yang besar yang akan dirasakan oleh masyarakat.

Bankir, technologist, regulator dan stakeholder lainnya perlu duduk bersama untuk merumuskan bagaimana arah kedepan dari absorpsi disrupsi teknologi. Peta jalan (roadmap) yang menyeimbangkan asas komersial sekaligus kehati-hatian perlu dikedepankan. Para peserta harus terus mengingat pelajaran sejarah yang sangat pahit akibat krisis perbankan. Pada tahun 1998; krisis perbankan telah memberikan beban fiskal lebih dari Rp. 600 Triliun (75% Produk Domestik Bruto); yang masih dicicil hingga hari ini. Jangan sampai sejarah terulang kembali!

Tulisan ini telah dimuat pada buku Pemikiran 100 Ekonom Indonesia: “Transformasi Ekonomi Indonesia Menuju Negara Maju dan Berdaya Saing”. Penerbit: INDEF, September 2020.