Telah lebih dari tiga bulan berlalu sejak saya menulis artikel di harian ini mengenai Perbankan di Tengah Pandemi (Kompas, 23 April 2020). Saat itu perbankan sedang berada di fase awal pandemi dan saya mengusulkan pembentukan “gugus tugas semacam Badan Penyehatan Perbankan Nasional-BPPN” yang beranggotakan bank-bank paling tangguh (benchmark) untuk mengurangi dampak dari pandemi COVID 19. Tidak berapa lama dari artikel tersebut; pemerintah mewacanakan dan kemudian merealisasikan ide “bank jangkar” melalui PP No. 23 Tahun 2020. Walapun tidak persis seperti yang saya maksud dalam artikel; kebijakan tersebut paling tidak sudah “menandai” bank-bank tangguh yang berpotensi menjadi “jangkar” bagi perekonomian nasional ditengah badai pandemi.

Berdasarkan PP No.23 Tahun 2020, tugas dan wewenang bagi bank-bank jangkar tersebut ada pada aspek likuiditas. Bank-bank tersebut memperoleh penempatan dana dari pemerintah yang dapat digunakan untuk kebutuhan likuiditas karena restrukturisasi. Penggunaan istilah likuiditas sebenarnya kurang tepat. Berdasarkan POJK No. 11 tahun 2015, restrukturisasi oleh bank dilakukan dalam bentuk pengurangan/penghapusan bunga, pokok dan denda, refinancing, perpanjangan jangka waktu hutang dan konversi hutang menjadi modal; semua hal tersebut pada prinsipnya adalah beban bagi bank. Tidak ada bankir yang suka rela memangkas pendapatan bunga atau menghapus buku sekian persen portfolio kreditnya; hal ini menurunkan penghasilan dan/atau menaikkan biaya. Selanjutnya jika penurunan pendapatan dan kenaikan beban ini “jomplang”, maka bank akan mengalami kerugian yang tentu mengancam permodalan (menjadi isu solvabilitas). Penggunaan istilah “likuiditas” ini menunjukkan kegamangan pemerintah dihadapkan dilema situasi kritis dan dinamika masyarakat demokratis.

Sangat sulit melakukan navigasi ditengah badai; dan lebih sulit lagi dalam sistem masyarakat yang demokratis. Tidak lama setelah diterbitkan, baik PP No. 23 tahun 2020 maupun “induknya” UU no. 2 Tahun 2020 digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa kelompok masyarakat. Memang kedua perangkat hukum tersebut memberikan wewenang yang sangat besar dalam menghadapi pandemi; tetapi tidak berarti “kebal hukum” bagi pejabat-pejabatnya.  Kita harus realistis bahwa ancaman yang dihadapi juga tidak kalah dashyat, pandemi kali ini adalah sesuatu yang terjadi belum tentu 100 tahun sekali. Tentu saja ancaman yang dashyat harus dihadapi dengan senjata pamungkas.

Bangsa Indonesia sedang menghadapi ujian “kematangan bernegara” yang terberat pasca krisis 1998. Nilai kelulusan “A”, berarti  jalan lancar menuju perekonomian berpenghasilan tinggi. Sedangkan nilai “B” apalagi “C” akan membuka jalan menjadi negara ” permanent emerging market”. Nilai “D” akan membawa Indonesia menjadi negara gagal atau setidaknya “banana republic”. Penulis sangat setuju dengan pendapat Acemoglu dan Robinson (2012) dalam bukunya yang terkenal “Why Nations Fail: The Origin of Power, Prosperity and Property”, yang menegaskan kunci utama kemajuan ekonomi suatu bangsa terletak pada kualitas institusinya: yang merupakan manifestasi masyarakat tersebut dalam bernegara.

Salah satu pilar kunci dalam bertahan dan pulih dari krisis adalah resiliensi sektor perbankan. Berbagai goncangan terhadap perekonomian dapat ditahan untuk tidak menjadi krisis; sepanjang sektor perbankan dapat dijaga dengan baik (Laeven, 2011). Namun demikian seperti dikemukakan oleh Barth, Caprio and Levine (2008), bisnis bank adalah penuh dengan moral hazard. Tidak mengherankan karena memang bisnis bank adalah memutar “uang orang” yang bisa sepuluh kali lipat dari modal sendiri. Kebijakan pasca krisis global menekankan pentingnya pendekatan “private resolution” ketika melakukan regulasi (Narain, Otker dan Pazarbasioglu, 2012). Sederhananya jika ada masalah dalam perbankan, pemilik bank, kreditur bank dan bank-bank lain diharapkan menyelesaikannya terlebih dahulu. Dana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Pemerintah adalah opsi terakhir; dan jika bisa tidak perlu sampai digunakan (last resort).

Kembali, kita harus realistis paradigma ini feasible dilakukan untuk krisis “standar” dan mungkin bukan untuk yang sedang kita hadapi saat ini. Berbagai kemajuan telah diperoleh terkait penangan pandemi; terutama vaksin yang sudah memasuki fase uji klinis. Namun demikian kita tetap harus bersiap jika situasi berlarut-larut. Studi saya terhadap berbagai kajian yang ada di internet; tampaknya mengindikasikan skenario baseline berlangsungnya pandemi hingga pertengahan tahun 2021.

Banyak perusahaan terutama mereka yang berada di pariwisata, makanan, transportasi dan perdagangan diperkirakan bleeding besar. Boro-boro menutup biaya tetap (depresiasi, bunga dan sewa properti); menutup biaya variabel saja mungkin tidak. Dalam teori ekonomi, ini adalah shut down point; pengusaha akan lebih baik menutup perusahaan dibandingkan mengoperasikannya. Jika terjadi tentu saja kerugian yang luar biasa besar bagi perekonomian. Perusahaan sehat memiliki kontribusi lebih dari output yang dihasilkan; didalamnya ada pegawai, skill (manajerial dan organisasi), reputasi dan teknologi yang memiliki nilai jauh diatas angka buku nya. Karena nilai-nilai intrinsik itulah saham perusahaan sehat diperdagangkan dengan rasio price to book value jauh diatas satu (Damodaran,2012).

Dengan demikian salah satu pilar kebijakan era pandemi adalah menjaga agar perusahaan yang “sehat” jangan sampai tutup. Saya menggunakan kata sehat dengan tanda petik untuk menegaskan sehat sebelum pandemi terjadi. Perbankan berada di garda terdepan dalam kebijakan ini melalui kebijakan restrukturisasi. Menjelang pandemi (per Februari 2020); perbankan berada dalam kondisi yang sehat yang ditunjukkan oleh permodalan (Capital Adequacy Ratio: CAR) sebesar 22.8%, Kualitas Kredit (Gross Non-Performing Ratio-NPL) sebesar 2.7%, Profitabilitas (Return on Asset-ROA) sebesar 2.6% dan rasio likuiditas (Alat Likuid terhadap Total Aset) sebesar 15.1%.

Pada tahap sekarang, restrukturisasi perlu diarahkan kepada opsi konversi pinjaman menjadi saham. Konversi pinjaman menjadi saham dapat diberikan bank kepada perusahaan yang komitmen untuk tetap operasional hinga pandemi berlalu. Untuk mengurangi risiko moral hazard selanjutnya bank perlu memperoleh opsi jual saham (put option) pada harga (strike price) dan durasi tertentu dari pemilik perusahaan. Negosiasi dilakukan untuk menentukan strike price dan durasi berlakunya opsi jual. Pemerintah dalam rangka pelaksanaan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dapat memberikan subsidi dan garansi kepada bank agar pelaksanaan restrukturisasi lebih optimal.

Mengingat pentingnya unsur negosiasi dalam restukturisasi pemerintah dan regulator perlu membuat suatu tim yang dedicated untuk memediasi perundingan antar pihak terkait tidak hanya pemilik perusahaan dan bank tetapi juga stakeholder lain khususnya pekerja dan kreditur. Tugas utama tim adalah (a) mendorong pengungkapan informasi-informasi relevan, (b) ikut aktif mendesain panduan kebijakan dan implementasi restrukturisasi dan (c) mendorong serta jika perlu “memaksa” (ingat kita dalam situasi krisis) tercapainya negosiasi. Informasi yang diperlukan dalam negosiasi seperti ini misalnya posisi keuangan (asset dan kewajiban; on dan off balance sheet) tidak hanya terkini tetapi akumulatif yang diperoleh sebelum pandemi baik dari pihak bank maupun debitur serta kebutuhan hidup pekerja (sebagai basis rasionalisasi penggajian). Tim diharapkan memberikan pandangan apakah informasi-informasi tersebut dapat dianggap transparan serta independen.

Negosiasi adalah aktivitas kunci keberhasilan program restrukturisasi yang menuntut transparasi atas permasalahan yang dihadapi dan kesediaan “rela berkorban” dari setiap pihak. Tidak ada prinsip Win-Win Solution atau Pareto efficiency; ini adalah cooperative game loss allocation dengan kriteria acceptable-fair loss (Shapley Value; ditemukan pada tahun 1951 oleh pemenang Nobel Ilmu Ekonomi tahun 2012, Llyod Shapley). Kriteria Win-win solution atau Pareto Efficiency bisa dicapai dengan mekanisme pasar untuk mengalokasikan keuntungan; bukan kerugian (burden sharing). Isu seperti asymmetric information, market-political power, signaling dan moral hazard sangat kental yang berpotensi menghalangi solusi yang “baik” dari perspektif wealth equality.

Sesuai kodratnya; pemerintah adalah penanggung utama dari biaya force majeure berskala nasional seperti krisis kesehatan saat ini. Namun demikian hal tersebut tetap harus dilakukan dengan penuh perhitungan dan tanggung jawab. Keuangan pemerintah bersifat inter-generational; semua pengeluaran yang tidak dapat ditanggung oleh penerimaan saat ini akan ditanggung oleh anak cucu kita. Pemerintah dan regulator harus melibatkan secara penuh pihak-pihak terkait dalam desain dan eksekusi kebijakan. Suatu hal yang tampaknya masih belum dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah-regulator; yang ironisnya, terlihat dari adanya gugatan terhadap produk hukum penanggulangan krisis.

Terus terang ide ini memang terdengar muluk (picture perfect). Tetapi melihat perkembangan situasi yang ada saat ini; tampaknya kita harus bersiap, dari sekarang, untuk kemungkinan menghadapi yang terburuk. Menurut saya pencapaian moderat (kisaran 70 persen) dari suatu pekerjaan yang ideal; jauh lebih baik dari pencapaian 100% dari pekerjaan yang pragmatis. Pelajaran yang diperoleh dari proses ini akan menjadi bahan pembelajaran sangat berharga untuk memajukan ekonomi Indonesia kedepan.

(Artkel ini telah terbit pada harian Kompas, 29/08/2020)