Saat ini Indonesia telah berada dalam bulan ke empat krisis kesehatan yang disebabkan oleh virus COVID19. Respon risk aversion masyarakat serta kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah memukul berbagai sendi perekonomian. Pada kuartal pertama tahun 2020 saja, pertumbuhan PDB rill telah menurun tajam ke 3.0% dari 5.0% diakhir tahun 2019. Pada kuartal ke dua, Menteri Keuangan memprediksi PDB akan mengalami kontraksi sebesar 3.8%. Untuk tahun 2020, konsensus ekonom memperkirakan PDB akan kontraksi pada kisaran 0.0-1.0%. Semua prediksi ini disertai dengan catatan downside risk (potensi revisi ke bawah) yang signifikan.

Mungkin bisa dikatakan “untung”nya, goncangan krisis kesehatan bersifat sistematik. Hampir tidak ada negara yang luput dari “cengkeraman”nya; sehingga Indonesia tidak mengalami risiko stigmasi. Sisi “terang” yang lain adalah fundamental ekonomi yang sound ketika pandemi menerjang, sehingga investor masih menilai positif prospek Indonesia.

Penilaian dari lembaga-lembaga tersebut tentu meningkatkan rasa percaya diri; tetapi jangan sampai melenakan. Pandemi yang dihadapi saat ini adalah ujian terbesar setelah krisis 1998. Jika membaca kajian-kajian yang ada; kita harus realistis untuk mengasumsikan pandemi akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2021. Ketika itu, vaksin, pengobatan atau herd immunity memungkinkan berlangsungnya aktivitas ekonomi secara normal kembali. Dengan demikian jalan “terjal dan berliku” masih panjang, pertanyaan adalah apakah perekonomian kita siap?

Untuk menjawab pertanyaan itu; maka perlu dievaluasi resiliensi perekonomian terutama sistem keuangan. Mengapa sistem keuangan? Banyak studi mengenai krisis ekonomi (Laeven dan Valencia, 2013) menunjukkan peran kerentanan sektor keuangan (khususnya nilai tukar, hutang korporasi dan negara serta perbankan) sebagai faktor pemicu. Pemantauan dan analisis  sektor keuangan juga dapat dilakukan lebih timely dan komprehensif karena indikator-indikator nya lebih rapid, sangat dinamis dan “relatif” lebih mudah dibaca.

Seperti negara-negara lain di dunia, Indonesia juga all out menghadapi pandemi. Undang-undang (UU) No. 2 Tahun 2020 diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2020 untuk “menghadang” virus COVID19.  UU tersebut memungkinkan para pengawal Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) untuk beradaptasi dan berinovasi “out of the box” yang sangat penting dalam menangani krisis. Beberapa “terobosan out of the box” telah dilakukan oleh para pengawal SSK, seperti pelampauan batas defisit fiskal oleh pemerintah, pembelian surat berharga pemerintah dipasar primer oleh BI, perintah merjer dan akuisisi bank oleh OJK dan preemptive resolution-perluasan penjaminan oleh LPS. Krisis kesehatan saat ini jelas telah mengancam ekonomi; krisis ekonomi adalah suatu probabilitas yang signifikan. Menghadapi “musuh” seperti ini sudah selayaknya para pengawal SSK diberikan senjata pamungkas.

Secara khusus sektor keuangan yang perlu diberikan perhatian lebih adalah perbankan. Industri ini mendominasi sektor keuangan Indonesia (porsi pendanaan perusahaan lebih dari 70%). Tedapat dua jenis penyakit yang sangat fatal bagi sebuah bank: solvabilitas dan likuiditas. Solvabilitas menunjukkan kecukupan modal bank untuk menutup selisih dari nilai “riil” asset dan kewajibannya (terutama simpanan masyarakat). Tidak seperti bisnis lain; nilai asset bank yang didominasi oleh kredit tidak gampang di valuasi. Aset tersebut tidak megenal depresiasi dan umumnya tidak diperdagangkan; dengan demikian untuk mengetahui nilai sebenarnya dari kredit ya harus audit (due diligence).

Berbagai hal mulai dari prospek bisnis hingga fraud dapat menyebabkan nilai “riil” dari kredit turun jauh dari nilai bukunya. Berdasarkan aturan, bank harus menyesuaikan nilainya dengan membentuk cadangan penghapusan. Biaya penghapusan kredit akan menggerus laba; bahkan dapat menjadi kerugian. Kerugian ini kemudian akan menggerus modal hingga titik dimana nilai sebenarnya adalah nol (insolven). Penyakit solvensi berkembang secara gradual; walupun mungkin baru terdeteksi secara mendadak (karena ditutupi). Kalau menganalogikan dengan penyakit manusia; solvensi pada bank seperti kanker.

Penyakit fatal berikutnya adalah likuiditas. Bank memobilisasi simpanan masyarakat yang berjangka waktu pendek (durasi rata-rata 1.5-2 bulan) yang kemudian disalurkan (dalam bentuk kredit), yang umumnya jangka panjang (durasi rata-rata 1 tahun atau lebih). Jika karena satu hal dan lainnya; mayoritas nasabah kehilangan kepercayaan kepada bank bersangkutan maka akan terjadi penarikan dana secara bersamaan (bank run). Dihadapkan pada bank run, alat likuid yang ada tidak akan mencukupi. Bank hanya punya dua pilihan (yang sama pahitnya): (a) pinjam dari bank lain; jika ada pun bunganya akan luar biasa tinggi dan (b) jual aset; yang harus dilakukan secara fire sale. Dalam situasi bank run, bank hanya dapat bertahan dalam hitungan hari tanpa bantuan. Analogi dengan penyakit manusia; masalah likuiditas adalah bagaikan stroke atau serangan jantung.

Situasi bertambah kompleks karena kedua penyakit ini overlapping. Suatu bank mengalami run karena adanya isu mengenai kesehatannya (solvabilitas). Memisahkan apakah isu tersebut adalah valid atau hoax tidak mudah. Dengan demikian penanganan bank yang kritis harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek solvabilitas sekaligus likuiditas serta dilakukan dalam waktu singkat.

Kerangka kerja penangan bank kritis terdiri dari tiga elemen (Schich, 2008): (a) Pengaturan dan Supervisi, (b) Lender of Last Resort-LoLR dan (c) Penjaminan Simpanan. Pengaturan dan supervisi (dilakukan OJK) bertugas memberikan informasi up to date dan reliable untuk memahami intensitas (skala dan urgensi) permasalahan bank serta rekomendasi kebijakan. Untuk menangani masalah likuiditas, digunakan LoLR (yang disediakan oleh BI) sedangkan penanganan masalah solvabilitas dilakukan dengan urutan: pemilik, investor eskternal dan terakhir LPS.

Dalam lanskap institusi SSK Indonesia (yang diatur oleh UU No. 9 Tahun 2016), OJK adalah instansi yang memberikan resep pengobatan (sebagai dokter); sedangkan BI dan LPS adalah penyedia treatment (seperti apotik dan terapis). Kementerian keuangan berperan sebagai koordinator dan backstop pendanaan. Dengan UU No. 2 tahun 2020; peran dari BI dan LPS terlihat digeser lebih kedepan, menjadi mitra dokter yang ikut memberikan opini mengenai treatment yang harus diberikan kepada si pasien. Dari aspek governance; ini merupakan nilai tambah karena ada multiple check, tetapi menjadi lebih birokratis (dan mungkin malah membingungkan karena tumpang tindih wewenang). Pengaturan ini bisa counter-productive jika situasinya adalah berkejaran dengan waktu (krisis) dan trust level ke sesama yang rendah.

Adanya aspek SSK pada UU No. 2 tahun 2020 tidak lazim mengingat sudah ada UU No. 9 Tahun 2016 yang berjudul Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). UU No. 2 Tahun 2020, terlihat lebih “greng” dibandingkan UU No. 9 tahun 2016 (tapi tentu saja kalah lengkap). Memang UU “Krisis” yang dibuat ketika krisis; tentu “beda kualitas” dengan UU krisis yang dibuat ketika “damai”. Perlu dipertimbangkan agar UU No. 2 tahun 2020 “mengakuisisi” UU No. 9 tahun 2016 sehingga produk hukum yang ada menjadi integrative, komprehensif dan tidak tumpang tindih.

Sebagai seseorang yang pernah menjadi pengawal SSK, penulis dapat berempati atas risiko “politisasi” berbagai tindakan dan kebijakan yang “terpaksa” dilakukan ketika krisis. Para pengawal SSK “berlatih” untuk memahami dan mencermati arah narasi “pertanggung jawaban” yang dibangun: siapa yang akan menjadi protagonis, peran pembantu, figuran dan yang terpenting “antagonis”. Salah satu teknik mitigasi terhadap risiko narasi adalah dengan melibatkan lebih banyak lagi aktor dalam pengambilan keputusan. Sayang sekali, UU “krisis” baru yang sudah lebih “greng” secara semangat; berpotensi loyo karena “labirin” proses pengambilan keputusan.

Sangat disayangkan kultur kerja tersebut terjadi kalangan pengawal SSK. Situasi ini bukan khas Indonesia; hal serupa terjadi dibanyak negara bahkan negara maju. Para pengawal SSK Amerika Serikat (AS) juga “dicecar” oleh senat dan penegak hukum terkait kebijakan penanganan krisis tahun 2008. Ini adalah fitur normal negara demokrasi; yang menjunjung tinggi akuntabilitas kebijakan publik. Episode terberat justru datang setelah kebijakan telah dieksekusi.

Yang berbeda adalah tidak ada satupun dari “jenderal” pengawal SSK AS tadi dikirim ke penjara;  tidak juga prajuritnya. Di Indonesia? Silahkan lihat daftarnya di internet. Ternyata pertanyaan ini tidak menghinggapi penulis saja; silahkan cek di search engine dengan mengetik “Global Financial Crisis 2008 in US no regulator sent to jail”.  Mungkin inilah risiko pengawal SSK di Indonesia? Seperti yang dikatakan mentor penulis: lakukanlah tugas dengan ikhlas, integritas, kompeten dan taat asas, lainnya serahkan kepada yang di Atas. Karakter seperti ini mestinya menjadi rujukan bagi individu yang telah memilih menjadi pengawal SSK sebagai jalan hidupnya.

Artikel ini telah dimuat pada website: CNBC Indonesia: https://www.cnbcindonesia.com/opini/20200810180515-14-178772/refleksi-harapan-pada-pengawal-stabilitas-sistem-keuangan