Salah satu fungsi operasional perusahaan yang sering di “outsource” kan adalah external audit. Sangat menarik mengulas mengapa suatu perusahaan melakukan hal tersebut terlebih lagi mengingat biaya outsourcing nya cukup mahal. Survey yang dilakukan oleh Financial Executive Research Foundation (FERF) terhadap 255 entitas Amerika Serikat (perusahaan terbuka, perusahaan tertutup dan not for profit organization) pada tahun 2013 melaporkan biaya audit eksternal dengan median sebesar 0.07% dari pendapatan tahunan. Untuk perusahaan yang sangat kecil; biaya audit tersebut bisa sangat substantial; median sebesar 1.05%, maksimum 3.09% dari dari pendapatan tahunan.

Dalam bukunya “The Future of Auditing”, Hay (2020) mendefinisikan external audit sebagai layanan assurance atas laporan-informasi keuangan yang dihasilkan oleh perusahaan. Buku tersebut merangkum studi dan hipotesis atas sumber nilai tambah (value added) dari jasa Audit; sehingga perusahaan mau mengeluarkan biaya substantial untuk memperolehnya. Yang pertama adalah untuk meredam ekses dari hubungan principal-agent. Para investor; pemilik (atau calon pemilik) perusahaan akan mendiskonto informasi keuangan dari manajemen karena asymmetric information (Jensen-Meckling, 1976). Untuk mengurangi besar dampak ini, maka manajemen menyewa jasa audit; yang diharapkan mampu memberikan proteksi atas harga dari informasi tersebut (Elliott, 1994).

Penggunaan jasa auditor juga memberikan sinyal kepada investor bahwa manajemen memiliki kredibilitas yang tinggi dalam penyajian informasi keuangan. Kredibilitas ini datang dari aspek akurasi teknis (Wallace, 1987) dan aspek “harga audit” yang mahal (Beatty, 1989). Terkait dengan hal ini;  Ball, Jayaraman, and Shivakumar (2012) mengemukakan audit berperan sebagai kofirmasi nilai laporan keuangan (confirmation hypothesis).

Suatu “hipotesis” yang “menggelitik” adalah dengan menyediakan jasa audit, auditor juga melakukan “pasang badan” atas nilai informasi keuangan perusahaan. Apabila terjadi sesuatu yang “salah” dalam penempatan dananya; investor juga akan memasukkan auditor sebagai jajaran target  gugatan untuk meningkatkan recovery investasi. Teori ini dikenal dengan nama “deep pockets” (Chow, 1982). Abdel-Khalik (1993) mengutarakan bahwa external audit memberikan manfaat pengendalian kepada manajemen puncak suatu organisasi yang kompleks.

Teori-teori di millennium baru menghubungkan nilai audit dengan corporate governance; yang dipicu oleh merebaknya skandal keuangan seperti Enron, WorldCom dan Arthur Andersen. Perusahaan dan investor semakin menyadari kompleksitas dan dinamika dunia usaha; yang memerlukan suatu metodologi yang sistematis untuk mengelola risiko serta governance perusahaan. Metodologi ini terwujud dalam suatu bauran pendekatan; dimana audit adalah bagian yang integral (Cohen, Krishnamoorthy, and Wright, 2004).

Masih banyak lagi hipotesis yang diajukan sebagai penjelas nilai tambah audit seperti audit society (Power 2000), legitimacy theory (Deegan, 2014) dan institutional theory (Baker, Bédard, and Prat dit Hauret, 2014). Dengan terobosan teknologi dan globalisasi seperti yang terjadi saat ini; disiplin ilmu audit baik sebagai scientific body maupun practical business body akan semakin kompleks dan menghadapi tantangan yang besar.

Hay, Knechel, and Willekens (2014) mencatat beberapa aspek yang menjadi tantangan pengembangan disiplin ilmu audit kedepan. Tantangan tersebut adalah aspek kualitas audit, independensi, regulasi audit, pasar audit dan relasi audit-governance. Tantangan plus kebutuhan yang besar mengindikasikan profesi auditor menjadi salah satu profesi yang menjanjikan dimasa depan.

Dari perspektif pendidikan tinggi; tentu sangat menarik melihat bahwa audit adalah salah satu primadona disiplin akuntansi. Suatu survey yang dilakukan oleh American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) terhadap lulusan pendidikan tinggi (sarjana, master dan sertifikasi profesi) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa industry Auditing dan Assurances masih merupakan target employer. Industri ini menyerap 53% lulusan pendidikan tinggi akuntansi. Gambaran serupa mungkin juga terjadi di Indonesia.

Peran audit dari perspektif konteks bisnis di Indonesia sangat penting khususnya dalam hal corporate governance, kinerja keuangan dan persepsi investor. Corporate Governance Perception Index (CGPI) yang dikelola oleh Indonesia Institute of Corporate Governance (IICG) adalah salah satu alat ukur yang sudah cukup dikenal. Asesmen dan publikasi CGPI telah rutin dilakukan sejak 2001 yang memperhatikan aspek-aspek infrastruktur governance (system, prosedur, proses dan output) code of conduct, laporan keuangan dan kinerja audit. Indikator ini telah cukup banyak digunakan oleh berbagai studi akademis.

Wahyudin dan Solikhah (2017) menemukan adanya feedback positive yang signifikan dari  CGPI terhadap kinerja keuanngan perusahaan; tetapi belum memperoleh appresiasi yang memadai dari pelaku pasar modal. Temuan empiris serupa juga diperoleh oleh studi Zahroh (2017), Halimatusadiah, Sofianty dan Ermaya (2015) dan Rossi dan Panggabean (2012). Tampaknya masih diperlukan waktu dan usaha untuk membangun koneksi antara kinerja corporate governance dengan apresiasi dari investor.