Profesi Akuntan dan Pandemi: Tantangan Adaptasi, Studi Kasus IFRS9-PSAK 71.
Pada tahun 2020, Dunia dihadapkan pada suatu event disruptif yang sangat jarang terjadi: pandemic akibat Virus Corona (COVID 19). Bencana kesehatan pada skala yang menyamai tingkat saat ini terjadi lebih dari 100 tahun yang lalu yakni Flu Spanyol ditahun 1918. Aktivitas pembatasan sosial masif yang digunakan sebagai instrumen penanggulangan pandemic oleh berbagai negara memberikan dampak negatif yang dashyat terhadap perekonomian. IMF pada rilis update proyeksi pada bulan April 2020 me”reverse” pertumbuhan ekonomi global dari +3.3% menjadi -3.0%.
Dampak negatif pandemi melanda seluruh aspek kehidupan; tidak terkecuali profesi akuntan. Akuntan memiliki peran kunci dalam melakukan pengolahan data-data aktivitas bisnis menjadi informasi strategis manajerial dan keuanganan. Tentu saja dengan terjadinya pandemi; prinsip-prinsip akuntansi untuk bisnis dalam keadaan normal perlu dilakukan modifikasi yang substansial.
Besaran (luas dan kedalaman) modifikasi akan sangat tergantung progesi pandemi. Hingga tulisan ini dibuat; bagaimana pandemi COVID 19 akan berlangsung masih penuh ketidak pastian. Rentang proyeksi durasi pandemi cukup lebar dengan perkiraan paling optimis; puncak pandemi berada dikisaran Juli-September 2020 sedangkan yang pesimis memperkirakan hingga akhir tahun 2021. Dalam situasi yang demikian; modifikasi dilakukan sesuai perkembangan serta tuntutan situasi. Profesi akuntan perlu mencermati perkembangan kondisi bisnis yang sangat dinamis saat ini untuk dapat selalu beradaptasi dengan baik.
Sangat banyak area yang dapat cakup dalam adaptasi prinsip dan praktek akuntansi. Namun dalam artikel ini penulis akan menyampaikannya dalam sebuah contoh. Salah satu respon yang cepat terkait dengan penerapan prinsip akuntansi adalah IFRS 9 tentang Instrumen Keuangan: Rekognisi dan Pengukuran. IFRS 9 yang dirilis tahun 2014 dan berlaku ditahun 2018, menggantikan IAS 39.
Salah satu aplikasi yang cukup signifikan dari standar akuntansi tersebut adalah dalam perhitungan provisi asset finansial bermasalah (Non-Performing Financial Assets). Aset-aset finansial sangat dominan pada bisnis perbankan. Di Indonesia, pengaturan IFRS 9 diadopsi dalam PSAK No. 71. Pengaturan ini merupakan perkembangan menuju konvergensi penilaian asset keuangan yang selama berpuluh-puluh tahun berada diantara dua kutub paradigma: incurred loss dan dynamic provisioning.
Krisis keuangan global 2008; memberikan pelajaran bahwa nilai aset keuangan harus diukur dengan menggunakan paradigma yang lebih forward looking. Tidak hanya menunggu credit event terjadi tetapi juga melakukan analisa-proyeksi probabilitas terjadinya credit event dan besaran dampak jika credit event tersebut terjadi. Disini nilai asset keuangan harus dihitung secara neto terhadap pencadangan kerugian penurunan kualitas asset (Credit Loss-Provisioning). Credit loss provisioning selanjutnya dihitung dengan formula yang terkenal bernama Expected Credit Loss (ECL). ECL merupakan hasil perkalian dari Probability of Default (PD); Loss Given Default (LGD) dan Exposure at Default (EAD).
PSAK 71 bersifat konservatif dan OJK telah meng”endorse” penerapannya yang berlaku efektif sejak awal tahun 2020. Akibat perhitungan ECL; bank-bank diperkirakan harus menambah permodalan antara 3-5% untuk memenuhi standar akuntansi tersebut. Namun demikian selanjutnya dibulan Maret 2020; pandemi melanda Indonesia dan pemerintah (sesuai kondisi daerah) menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan social distancing ini telah memberikan dampak negatif yang signifikan; yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun 2020 yang hanya sebesar 3.0%; turun tajam dari 5.0% di akhir tahun 2019. Terdapat risiko bahwa ekonomi bahkan mungkin mengalami kontraksi tahun ini.
Menyikapi potensi risiko tersebut; OJK merilis POJK No. 11 Tahun 2020 tanggal 16 Maret 2020. Salah satu poin penting yang ada pada rilis kebijakan tersebut adalah melakukan relaksasi terhadap penerapan PSAK 71. Dengan relaksasi kebijakan ini; bank-bank menggunakan paradigma incurred loss untuk mencatat kualitas (disebut dengan kolektibitas) pinjaman debitur terdampak COVID 19 dengan baki debet maksimum Rp. 10 Milyar. Dengan perkataan lain; suatu debitur baru dikategorikan bermasalah jika sudah tidak membayar cicilan (pokok dan/atau bunga); loss incurred. Lebih lanjut bank juga didorong untuk melakukan restukturisasi terhadap debitur-debitur tersebut; dimana kredit hasil restukturisasi tersebut dapat dikategorikan lancar.
OJK juga menggandeng IAI didalam melakukan relaksasi atas PSAK 71 tersebut. Pada tanggal 2 April 2020, Dewan Standar Akuntansi(DSAK) – IAI memberikan dukungan atas penerapan POJK No. 11 Tahun 2020; yang merelaksasi secara “parsial” penerapan PSAK 71. Tidak menutup kemungkinan; pelonggaran lanjutan akan dilakukan apabila situasi memerlukan.
Ilustrasi diatas memberikan gambaran bagaimana profesi akuntan dapat memainkan peran kunci dalam penanganan event bencana nasional seperti saat ini. Tentu saja relaksasi akan membantu bank. Relaksasi kolektibilitas akan mengurangi biaya pencadangan yang diperlukan; yang dananya dapat digunakan sebagai buffer terhadap tekanan rentabilitas. Sektor perbankan adalah tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional.
Akuntan memiliki stewardship role (Latham, 2017). Pengolahan dan penyajian informasi memiliki spektrum pengguna yang luas ; namun tetap menjunjung tinggi azas obyektifitas dan fairness. Kedua aspek valuasi ini memiliki dimensi entitas dan situasi. Banyak sekali kesempatan inovasi-adaptasi dalam standar dan praktek akuntansi dalam situasi pandemi; tidak hanya dari aspek akuntansi keuangan seperti yang ada dalam ilustrasi ini tetapi juga aspek lainnya seperti akuntansi manajerial, audit, governance dan risk management.
Comments :