Sudah lebih dari satu bulan, kebijakan social distancing diterapkan (dengan berbagai modifikasi) diberbagai pelosok negeri untuk meredam dampak pandemi COVID19. Kebijakan ini berdampak sangat negatif kepada kinerja ekonomi tetapi sangat diperlukan untuk menjaga sistem kesehatan nasional supaya tidak rontok. Negara-negara lain seperti Malaysia, India, Inggris dan Italia bahkan menerapkan kebijakan yang lebih drastis lagi: lock down.

Skenario baseline dari para pakar adalah pandemi masih akan berlangsung dengan puncak diprediksi 2-6 bulan dari sekarang. Otoritas diberbagai negara tidak tinggal diam, triliunan USD siap dikucurkan untuk mendukung habis-habisan sistem pertahanan kesehatan dan ekonomi negara. Indonesia tidak ketinggalan, melalui Perpu No. 1 Tahun 2020, dana sebesar Rp. 405.1 Triliun telah disiapkan untuk menangani dampak pandemi. Perpu ini tidak hanya mencakup tentang dana; tetapi juga memperkuat wewenang dari para pengawal Stabilitas Sistem Keuangan (SSK): Kemenkeu, BI, OJK dan LPS.

Statistik industri perbankan sesaat sebelum pandemi menerjang dapat dikatakan solid. Hal ini dapat dilihat dari permodalan (Capital Adequacy Ratio; CAR) sebesar 22.7% per Januari 2020. Rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan; NPL) sebesar 2.7% sedangkan profitabilitas (Return on Assets-ROA) adalah 2.67%. Likuiditas (rasio Loan to Deposit– LDR) juga terjaga pada level 92.6% dimana rasio alat likuid dibagi non-core deposit (AL/NCD) sebesar 101.3%.

Namun demikian tantangan yang dihadapi juga sesuatu yang sangat jarang terjadi tetapi memiliki dampak  yang luar biasa besar (suatu black swan). Pimpinan IMF pada press rilis tanggal 23 Maret 2020 memperkirakan akibat pandemi, perekonomian global akan mengalami kontraksi yang mungkin lebih buruk dari krisis 2008. Skenario baseline bagi prospek ekonomi Indonesia adalah pertumbuhan pada rentang 2%-3%; separuh dari proyeksi Desember 2019 yang sebesar 5.0-5.3%%.

Dengan skenario baseline sekalipun; implikasi terhadap perekonomian sudah sangat berat. Tetapi dari aspek manajemen risiko; kita seharusnya juga mulai berhitung dengan menggunakan skenario yang lebih buruk (melakukan stress test). Anjloknya kinerja ekonomi akan menekan kemampuan keuangan perusahaan-perusahaan di Indonesia; yang akan berdampak kepada sektor perbankan. Meskipun OJK telah mengeluarkan paket kebijakan (POJK No 11 Tahun 2020) untuk mendukung kinerja perbankan saat pandemi; tapi sangat mungkin belum cukup terutama jika yang digunakan adalah skenario stress test.

Risiko terbesar perbankan saat ini adalah pada kualitas kredit. Dari hari ke hari kita menganalisa rapid data seperti penumpang pesawat, turis, pengunjung mall dan mobilitas manusia yang menunjukkan tren terjun bebas. Tidak sulit untuk memprediksi bagaimana kinerja statistik headline seperti perumbuhan ekonomi pada kuartal I dan II 2020. Salah satu pimpinan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), seperti yang dikutip CNBC tanggal 7 April 2020, bahkan telah “berteriak” kemampuan cashflow dunia usaha dalam situasi saat ini hanya bertahan hingga Juni 2020.

Kebijakan OJK merelaksasi kolektibilitas kredit hanya bersifat seperti parasetamol; painkiller bukan disease killer. Inti permasalahan ada pada business sustainability; tanpa adanya arus masuk kas (dari bisnis) yang mampu menutup biaya-biaya maka modal akan tergerus. Batas ketahanan adalah modal habis, dan perusahaan secara teknis telah bankrut. Situasi serupa yang lain adalah ketika arus kas perusahaan tidak mampu menutup kewajiban yang jatuh tempo. Perusahaan akan terpaksa menjual aset produktif dalam kondisi rugi (yang menggerus modal); atau kreditur akan menuntut kebangkrutan atas perusahaan tersebut. Jika telah mencapai titik ini relaksasi macam apapun tidak ada gunanya.

Pembentukan suatu organisasi tersentral yang menangani aset bermasalah dapat menjadi solusi. Organisasi yang mirip dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dbentuk era krisis 1998; mengambil alih mayoritas aset macet dari perbankan sehingga bank-bank berada dalam kondisi sehat. Dengan demikian ketika krisis telah berlalu, perekonomian dapat langsung pulih karena perbankan langsung mengucurkan pembiayaan bisnis.

Belajar dari BPPN era 1998, dalam BPPN era COVID 19 pembentukan dilakukan oleh bank-bank sendiri dengan paradigma industry rescue industry. Bank-bank dengan kondisi keuangan terbaik membentuk gugus tugas penanganan aset bermasalah untuk industri perbankan. Gugus tugas ini dapat berupa suatu organisasi formal (untuk akuntabilitas) dengan wewenang dan tugas koordinasi kebijakan, aktivitas, pemberesan dan pembiayaan dari unit-unit pengelola kredit bermasalah dimasing-masing bank (loan work out).

Gugus tugas ini selanjutnya akan “membeli” asset-aset bermasalah yang ada pada bank-bank. Pembelian ini dapat dilakukan dengan harga “pasar” atau harga “subsidi”. Suka atau tidak, disaat krisis pemerintah menjadi satu-satunya pemain kunci untuk menyelamatkan perekonomian. Mekanisme yang dilakukan adalah subsidi silang. Pembelian aset dengan harga pasar dilakukan untuk bank-bank yang dipandang memiliki kemampuan menyerap kerugian. Sedangkan bank-bank yang tidak mampu tetapi perannya dipandang penting (dalam fase pemulihan); mungkin diberikan harga “subsidi”. Siapa yang melakukan “screening”? Bank-bank pemimpin gugus tugas.

Darimana datangnya subsidi? Dari mekanisme dua jaring; pertama dari perbankan itu sendiri. Setelah melalui verifikasi oleh OJK maka perbankan dapat me reimburse tagihan subsidi tersebut kepada pemerintah dalam bentuk cash atau surat utang negara. Tentu saja dibutuhkan landasan hukum serta pengaturan teknis mengenai transaksi reimbursement ini.

Faktor kunci kesuksesan gugus tugas ini ditopang dua hal: skala ekonomi dan distribusi beban yang transparan dan fair. Perbankan di Indonesia menganut one obligor principle; jadi ketika pinjaman seorang nasabah macet disuatu bank maka pinjaman nasabah tersebut dibank lain harus diklasifikasikan macet juga. Ketika pinjaman-pinjaman macet ini dikonsolidasikan (oleh gugus tugas) sangat mungkin suatu solusi yang lebih efisien dapat dilakukan dibandingkan solusi yang diserahkan ke masing-masing bank. Ini adalah manfaat skala ekonomi. Selanjutnya dengan menempatkan perbankan digarda terdepan penanganan kredit bermasalah; didukung pemerintah sebagai backstop, moral hazard yang timbul dapat diminimumkan. Perbankan ikut bertanggung jawab terhadap pengucuran dana subsidi. Karena itulah transparansi dan fairness dalam alokasi beban menjadi kunci. OJK dan Kementerian Keuangan memilliki peran yang kritikal dalam gugus tugas yakni inisiator, fasilitator, akselerator, mediator dan negosiator.

Kunci survival serta pemulihan dalam krisis kesehatan ini ada pada tiga pilar; yang sama penting. Pertama adalah sistem kesehatan nasional; jangan sampai tenggelam oleh gelombang pasien pandemi (biaya kemanusiaan). Kedua, adalah sistem pengaman sosial, tenaga kerja harus tersedia secara memadai baik kuantitas maupun “kualitas” pasca pandemi. Ketiga, dunia usaha siap langsung jalan kembali memutar roda ekonomi ketika situasi menunjukkan tanda membaik.

Penulis mengajak para pemangku kebijakan untuk bersikap realistis. Paket-paket kebijakan yang ada masih kurang menyentuh aspek penanganan kredit bermasalah; mungkin karena trauma krisis 1998. Penanganan asset bermasalah adalah bagian tidak terpisahkan dari kebijakan yang diperlukan. Sebagai contoh Bank Sentral AS (Federal Reserve) dalam rilis paket yang sangat masif (USD 1.5 Triliun) tanggal 15 Maret 2020 juga memasukkan opsi pembentukan BPPN (disebut dengan Troubled Assets Relief Program; TARP). Sikap realistis sangat diperlukan menghadapi “badai” once a century yang ada saat ini. Sehingga kebijakan yang dihasilkan memiliki potensi untuk memulihkan keadaan dengan segera ketika pandemi telah berlalu. Last but not least, komunikasi yang jelas dan jujur serta kesediaan berkorban dari semua pihak untuk NKRI; adalah “nyawa” dari kebijakan disaat krisis.

(Tulisan ini telah dimuat pada Harian Kompas, 23 April 2020)