Perbankan adalah urat nadi perekonomian Indonesia. Bank melakukan bisnis dengan menyalurkan modal finansial dari pihak yang surplus ke pihak yang defisit di berbagai sektor ekonomi.  Khususnya di Indonesia, penyaluran kredit masih didominasi sektor produktif (dengan porsi sekitar 70%). Dengan demikian perbankan berperan kritikal dalam aktivitas pembiayaan pertumbuhan ekonomi.

Disisi yang lain bank adalah suatu bisnis yang rawan goncangan (vulnerable). Hal ini disebabkan karena bank hidup bertumpu pada kepercayaan masyarakat. Bank mengumpulkan dana “idle” masyarakat dalam bentuk simpanan (giro, tabungan dan deposito) berjangka pendek; yang kemudian menyalurkannya kepada pinjaman yang umumnya berjangka waktu panjang.

Goncangan atas kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank dapat mendorong nasabah untuk menarik dananya (bank rush). Akibatnya bank terpaksa harus melakukan pinjaman dadakan kepada bank lain yang sering dilakukan dengan bunga yang tinggi; atau menjual paksa asset nya (forced sales) dengan harga yang rendah. Apapun respon yang dilakukan bank; konsekuensi nya adalah berupa kerugian yang substansial. Kerugian ini bisa sangat besar sehingga umumnya bank tidak akan bertahan lama jika terjadi bank rush.

Kepercayaan kepada industri perbankan dapat terganggu karena “polah” segelintir anggotanya. Untuk itu sangat penting bagi kita semua untuk menjaga kepercayaan kepada perbankan. Upaya menjaga ini tidak hanya dilakukan oleh regulator (OJK, BI dan LPS) tetapi juga oleh para pemilik saham bank (investor), nasabah, mitra kerja dan elemen masyarakat yang lain. Aktivitas “memperhatikan” kinerja bank dilakukan dalam kerangka memberikan umpan balik yang konstruktif. Hal ini dikenal sebagai disiplin pasar; yang merupakan salah satu pilar standar global pengelolaan perbankan: BASEL II, yang diterapkan oleh berbagai negara sejak 2006.

Tentu saja melihat baik-buruknya kondisi suatu bank bukan hal yang mudah. Perlu suatu pendidikan khusus dan “jam terbang” bertahun-tahun untuk menguasai skill ini. Tapi sebagai “termometer”; kondisi kesehatan bank (salah satunya) dapat dilihat dari kualitas kredit.

Kualitas kredit terdiri atas 5 kategori; dikenal dengan sebutan kolektibilitas. Koletibilitas terbaik diberi angka 1: kredit lancar. Kemudian berturut-turut koletibilitas menurun menjadi kategori: 2 (Dalam Perhatian Khusus), 3 (Kurang Lancar), 4 (Diragukan) dan 5 (Macet). Kredit dengan koletibilitas 1 dan 2 dikategorikan sebagai kredit lancar. Sedangkan kredit dengan kolektibilitas 3 sampai dengan 5 dikategorikan sebagai kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL).

Kriteria menempatkan suatu kredit pada suatu kolektibilitas cukup kompleks. Berdasarkan POJK No. 40 Tahun 2019, penilaian kolektibilitas kredit dilakukan dengan mengacu pada tiga faktor: prospek usaha, kinerja debitur dan kemampuan membayar. Pengaturan POJK ini telah mengadosi standar akuntansi internasional (IFRS 9) yang ditranslasikan ke standar nasional via PSAK 71.

Kolektibilitas kredit menunjukkan risiko kredit dari dimensi probabilitas: kemungkinan macet. Sedangkan Loss Given Default (LGD) menunjukkan besaran risiko dari dimensi dampak. Diatas buku suatu kredit dapat saja dinilai Rp. 100 tetapi jika macet, sangat mungkin nilainya jauh dibawah itu. Data Bank Dunia, Ease of Doing Business (2020) menunjukkan bahwa rata-rata LGD bagi kreditur pada event kebangkrutan adalah sebesar 34.5%. Setiap Rp. 100 kredit yang dikucurkan, bankir tersebut harus “siap” kehilangan Rp. 34.5 jika kredit tersebut macet. Hal ini bisa terjadi karena berbagai sebab seperti pengikatan agunan yang kurang baik, fraud dan permasalahan hukum.

Perkalian dimensi probabilitas dan besaran dampak risiko kredit disebut Expected Loss; digunakan bank untuk membentuk pencadangan terhadap penurunan kualitas aset kredit. Jumlah ini yang harus sudah dicadangkan pada modal; dan menjadi salah satu elemen penilaian kesehatan bank. Semakin tinggi pencadangan, berarti makin baik pengelolaan manajemen risiko kreditnya.

Pengaturan kualitas kredit terkini memiliki karakter forward looking. Bank melakukan pencadangan tidak hanya berdasarkan terjadinya credit event (seperti telat bayar cicilan). Pencadangan juga dilakukan jika terdapat informasi atau hasil analisis yang mengindikasikan potensi gangguan yang signifikan atas kemampuan membayar debitur kedepan. Hal ini dapat bersumber dari berbagai hal seperti prospek penjualan, dispute dengan supplier, resign nya pejabat kunci serta strike pegawai.

Terdapat dua statistik yang sering digunakan untuk mengukur risiko kredit pada perbankan yakni (a) Non-Performing Loan-NPL dan (b) Loan at Risk – LaR. NPL dalam arti Gross adalah rasio jumlah (nominal) kredit dengan kolektibilitas 3-5 terhadap total kredit. LaR adalah rasio kredit kolektibilitas (3-5; NPL) ditambah kredit Kolektibilitas 2 dan 1 (tapi hasil restrukturisasi) terhadap total kredit. Statistik LaR meningkat dalam popularitas beberapa tahun belakangan ini, karena dianggap lebih komprehensif dan antisipatif terhadap risiko kredit.

Berdasarkan data OJK, per November 2019, NPL (gross) perbankan berada pada angka 2.77% (naik 10 bps dari periode yang sama tahun sebelumnya); sedangkan LaR berada pada level 9.8% (menurun 0.7%). Statistik ini menunjukkan risiko kredit yang manageable; comfort zone regulator diperkirakan (masing-masing) 5% untuk NPL gross dan 6-7% untuk LaR. Perbankan diperkirakan telah membentuk pencadangan sebesar 60-70% dari total NPL. Apabila terdapat goncangan tak terduga atas kualitas kredit; modal perbankan (Capital Adequacy Ratio; CAR) yang sebesar 23.7% diharapkan dapat menjadi buffer. CAR perbankan Indonesia adalah salah satu yang paling tinggi didunia.

Statistik untuk bank-bank BUMN, sebagai motor perbankan, juga memberikan gambaran serupa. NPL (gross) bank-bank BUMN berada di kisaran 2.3%-2.6% sedangkan LaR berada pada kisaran 9.4%-9.8% yang sejalan dengan industri. Dalam aspek manajemen risiko kredit, Bank-bank BUMN terlihat lebih konservatif. Pencadangan mengacu kepada LaR; dengan angka pada kisaran 61.3% hingga 66.7%. Seperti halnya industri, CAR bank-bank BUMN juga cukup tebal dengan rentang antara 19%-23%; memadai untuk mengantisipasi goncangan kualitas kredit yang tidak terduga.

Statistik-statistik yang diuraikan diatas perlu disikapi secara proporsional dan obyektif. Risiko kredit bermasalah adalah makanan sehari-hari bankir. Melakukan ekspansi kredit dengan risiko yang manageable adalah filosofi yang digunakan. Dengan demikian bagi perbankan tujuan yang hendak dicapai adalah: perolehan laba yang optimal dengan mengedepankan pengelolaan bisnis yang hati-hati serta menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Tulisan ini telah dimuat pada Harian Kontan,tanggal 31 Januari 2020.