Memasuki tahun 2020, perbankan melanjutkan “perjuangan” melawan teknologi disruptif yang dibawa oleh gelombang Industri 4.0. Industri 4.0 adalah suatu konsep aplikasi teknologi yang massif dalam kehidupan bisnis. Terdapat 9 jenis teknologi tulang punggung gelombang industry 4.0 (Lavingia dan Tanwar, 2019) yakni Internet of Things (IoT), Cyber Security, Augmented Reality, Big Data, Autonomous Robot, Additive Manufacturing, Simulation, System Integration dan Cloud Computing. Teknologi-teknologi ini telah mendistrupsi model bisnis perbankan didunia dan Indonesia; dan kedepan dampaknya akan semakin besar.

Tulisan ini akan memaparkan suatu ilustrasi yang semoga dapat memberikan gambaran bagaimana gelombang industri 4.0 akan sangat merubah hidup para bankir kedepan. Perlu dicatat bahwa yang dimaksud masa depan ini bukan suatu periode yang lama; kita akan sangat merasakannya dalam jangka waktu 3-5 tahun kedepan.

Bisnis dan operasional suatu bank dapat digambarkan terdiri atas front office, middle office dan back office. Front office adalah ujung tombak bisnis; mereka bertanggung jawab atas pengenalan dan penjualan produk-jasa serta mengelola hubungan dengan nasabah. Middle office adalah unit-unit yang berperan sebagai think tank dan system pertahanan bisnis dari ancaman kompetitor maupun risiko bisnis. Back office adalah unit-unit yang bertugas untuk mendukung terlaksananya aktivitas front office dan middle office seperti teknologi informasi, logistik, SDM dan dokumentasi.

Gelombang Industri 4.0 mendisrupsi semuanya! Data World Development Indicators menunjukkan bahwa jumlah cabang bank per 100.000 penduduk dewasa menurun tajam di negara-negara maju (OECD). Pada tahun 2008, dinegara-negara tersebut rata-rata terdapat 28 kantor bank per 100.000 penduduk dewasa; per akhir 2018 statistik ini telah menurun ke angka 21. Data Statistik Perbankan Indonesia yang dipublikasikan oleh OJK menunjukkan kantor bank telah turun dari 32.730 ke 31.195 pada peride Desember 2016 ke September 2019.

Survey yang dilakukan oleh PWC (2018) melaporkan bahwa porsi nasabah yang memiliki preferensi untuk melakukan transaksi perbankan melalui kanal tradisional (Cabang, ATM dan semi digital) telah menurun tajam dari 73% ke 55%. Porsi nasabah yang memiliki preferensi all digital banking (omni digital) naik dari 27% ke 45%. Trend ini juga dipengaruhi demografi; kemunculan millennials yang memilki orientasi pada kemudahan hidup. Apa saja diharapkan bisa dilakukan dengan click and go.

Ketersediaan data yang tidak lagi diperoleh secara harian; tetapi bahkan detik (big data) menuntut kemampuan analisa, pengambilan kesimpulan dan rekomendasi yang real time dan on line. Brett King (2019) dalam bukunya yang cukup provokatif: Bank 4.0, Banking Everywhere, Never at a Bank menyajikan banyak ilustrasi menarik tentang bagaimana bisnis bank akan terlihat setelah beradaptasi dengan teknologi disruptif tersebut. Penulis mengambil satu ilustrasi dengan mengadaptasikannya ke konteks lokal.

Pada tanggal 21 Desember 2019 jam 8.00, Doddy seorang nasabah di Bank XYZ yang sedang ngopi dirumahnya, terpantau telah melakukan checking harga tiket pesawat secara on line dengan tujuan Bali untuk satu keluarga empat orang untuk keperluan liburan akhir tahun. Pada saat yang sama, bank XYZ mengetahui posisi konsolidasi saldo rekening simpanan dan kredit dan setelah dilakukan real time analysis dengan posisi keuangan tersebut Doddy belum dapat memberikan liburan yang “berkesan”. Tatapi bank mengetahui informasi pibadi lainnya: gaji, kondisi kesehatan, reputasi pribadi, riwayat pembayaran (kartu kredit, PLN, pulsa telepon dan belanja on line) serta aktivitas media sosial. Setelah melakukan analisa kembali, menyimpulkan bahwa Doddy layak untuk memperoleh pinjaman “surprise”.

Bank selanjutnya berkolaborasi dengan maskapai penerbangan, hotel, travel agent and rental mobil untuk melakukan product bundling. Katakan secara kongkrit yang ditawarkan adalah suatu paket wisata menginap 4 Hari dan 3 Malam; 2 kamar pada hotel berbintang 4 dikawasan Nusa Dua plus wisata 5 destinasi (all-inclusive termasuk tiket pesawat pp dan sewa mobil). Paket ini dapat dibeli dengan harga Rp. 25 juta via kartu kredit berbunga 10% per tahun; yang mulai dicicil 3 bulan setelah liburan selesai. Bank segera mengirimkan tawaran paket tersebut melalui media yang diketahui paling sering digunakan pada pukul 9.00. Yang perlu dilakukan Doddy hanyalah klik akseptasi tawaran tersebut; maka secara otomatis telah dibukukan oleh bank pemberian pinjaman melalui kartu kredit sebesar Rp. 25 juta, dengan cicilan yang efektif per 21 Maret 2020.

Semua proses diatas dari front office: customer service-sales, middle office: product developmentanalysis-risk management serta back office: kontrak-eksekusi transaksi terjadi secara otomatis serta simultan; dengan keterlibatan peran manusia yang minimal. Yang dibutuhkan hanyalah koneksi internet, aplikasi interface, algorithma analysis-decision making dan aplikasi operasional (yang menghubungkan bank dengan berbagai pihak dalam transaksi). Dapat juga diperhatikan bahwa tidak ada satu komponen pun dalam transaksi ini yang memerlukan kehadiran Doddy di kantor bank. Semua dokumen yang diperlukan sudah ada dalam format digital.

Bankir dapat saja bersikap pasif; membiarkan pihak lain misalnya start up teknologi yang melakukan inisiasi. Jika demikian halnya berarti bank memposisikan dirinya sebagai aktor pendukung; yang tentu saja hanya memperoleh keuntungan yang kecil. Bank juga bukan satu-satu nya alternatif pendanaan, banyak perusahaan finance yang siap mendanai produk tersebut. Sangat disayangkan jika bank tidak menjadi inisiator; bank adalah pihak yang paling well informed dan paling “dekat” hubungannya dengan nasabah. Dengan keunggulan tersebut mestinya bank memiliki posisi paling strategis untuk inisiatif serta meraup keuntungan terbesar.

Ilustrasi diatas hanya suatu contoh kecil. Potensi bisnis yang ada sangat banyak dan hanya dibatasi oleh imajinasi. Hanya soal waktu sebelum online business menjadi pakem dalam kehidupan sehari-hari. Kalimat kunci survival di era disrupsi adalah kemampuan mendeteksi serta menawarkan solusi atas kebutuhan konsumen dengan harga yang paling efisien pada kesempatan pertama. Bisnis intermediasi perbankan tidak bisa lagi dilakukan melalui flow procedural seperti saat ini tapi harus real time, on line, click and go. Ini benar-benar wakeup call yang sangat keras bagi bankir untuk segera beradaptasi.

 

Telah dipublikasikan pada Harian Bisnis Indonesia, 22 Januari 2020.