Menurut seorang Profesor dari Wharton School, Peggy Bishop Lane (2013), akuntansi adalah bahasa bisnis. Sebagaimana layaknya bahasa, tujuan dari akuntansi adalah menyampaikan pesan. Pesan tersebut dapat tersurat (eksplisit) maupun tersirat (implisit). Pesan dapat bersifat sederhana dan lugas; memiliki pesan tunggal dan jelas maupun bersifat kompleks dan multi intrepretasi. Seperti juga hal nya dengan Bahasa manusia, pesan ini dapat diserap secara baik oleh penerimanya (serta memperoleh respon yang sesuai); tetapi juga dapat salah dimengerti sehingga berakibat memperoleh respon yang counter-productive.

Akuntansi memiliki komponen “bahasa” yang eksplisit yang berupa angka-angka yakni laporan keuangan: neraca, rugi laba, off-balance sheet, arus kas dan perubahan modal. Disiplin ini juga memiliki komponen implisit yang diperoleh dari segmen Management Discussion & Analysis (MD&A) maupun gesture dan semantic dari manajemen saat rilis laporan keuangan serta intrepretasi dari aksi-kebijakan perusahaan. Pembaca akuntansi terdiri dari pihak internal: pemilik serta manajer dan eksternal: investor, kreditur, supplier, regulator serta masyarakat.

Diberbagai negara tata bahasa dan style komunikasi umumnya disusun oleh standard setter body seperti Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di Indonesia. Pada tingkat global, meskipun setiap negara memiliki pakem sendiri namun umumnya mengacu kepada salah satu dari dua raksasa standard setter body yakni International Accounting Standards Board (IASB; yang berkantor pusat di Inggris) atau Financial Accounting Standards Board (FASB; yang berkantor pusat di Amerika Serikat). IASB memiliki perangkat  International Financial Reporting Standards (IFRS) dan International Accounting Standard (IAS). Sedangkan FASB memiliki Generally Accepted Accounting Principles (GAAP).  IASB bersifat principles based; sedangkan FASB rules based.

Paparan diatas menggambarkan sangat kompleksnya “bahasa” akuntansi dengan dimensi yang tidak hanya bersifat teknis bisnis tetapi juga sosial, politik, budaya dan institusional.  Untungnya IASB dan FASB telah menjalin komunikasi yang intens dan sepakat untuk harmonisas. Scott (2015) dan Godfrey et al (2010) berpendapat progress komunikasi diantara kedua lembaga standard setting ini telah berjalan dengan cuku baik dan optimis suatu derajat konvergensi diantara keduanya dapat dicapai secara substansial.

Konvergensi diantara standar akuntansi sangat kritikal. Sebagai bahasa bisnis, akuntansi berperan penting dalam alokasi salah satu sumberdaya paling langka didunia yakni modal finansial. Sistem keuangan (bank, pasar uang, pasar modal) melakukan alokasi modal terutama melalui sinyal keuntungan (net profit) yang merupakan bottom line dari semua pesan laporan keuangan. Para pelaku sistem keuangan tidak hanya peduli terhadap kuantitas dari keuntungan, tetapi yang lebih penting lagi adalah kualitas nya: bagaimana keuntungan ini diperoleh dan apakah sustainable. Modal finansial akan dialokasikan kepada pihak-pihak yang memberikan kuantitas dan kualitas keuntungan yang paling optimal (Mishkin, 2015).

Meskipun terdengar sederhana, konsep ini sebenarnya sangat kompleks. Dimulai dari definisi keuntungan misalnya. Scott (2015) halaman 548 memuat ilustrasi yang sangat menggugah. Dalam laporan keuangan tahun 2011, Manulife Financial Corp, salah satu perusahaan asuransi terbesar didunia, melaporkan keuntungan (net income) bisnis di unit Kanada sebesar 245 Juta Dolar Kanada. Keuntungan ini dilaporkan dengan mengacu kepada IFRS. Perusahaan juga melaporkan dengan menggunakan US GAAP, disini keuntungan dilaporkan sebesar 3.765 juta Dolar Kanada!. Perbedaan hampir 15 kali lipat ini tentu sangat mencolok; dan kecuali bagi segelintir spesialis akuntan, informasi ini akan sangat mebingungkan.

Ini baru soal kuantitas keuntungan, belum bicara kualitas yang tentu nya harus melihat berbagai pos yang ada di laporan keuangan. Dalam mayoritas kasus, laporan keuangan juga tidak memadai, sehingga analisa harus dilakukan pada MD&A bahkan hingga melihat mimic wajah, postur tubuh, intonasi dan gaya bahasa dari manajemen ketika melakukan paparan. Para periset akuntansi telah mulai melakukan studi dengan pendekatan ini; lihat misalnya  Hobson, Mayew dan Venkatachalam (2012).

Konvergensi tidak hanya menjadi tantangan dalam konteks presentasi teknis pelaporan. Sama pentingnya adalah konvergensi dalam kepentingan. Sudah menjadi praktek yang lumrah, penyajian laporan keuangan sering “dikelola” untuk suatu kepentingan: IPO, pajak, akuisisi, analis dan sebagainya (Graham, Harvey dan Rajgopal, 2005). Hal ini tidak selalu berarti buruk (opportunistic); “pengelolaan” mungkin memang diperlukan untuk audiens atau kepentingan tertentu (efficient). Disini diperlukan suatu rangkaian prinsip yang mengharmonisasikan praktek.

Uraian diatas menunjukkan bahwa diera saat ini, disamping disrupsi teknologi, disiplin ilmu akuntansi sebenarnya masih menghadapi tantangan “tradisional” yang berat. Fungsi utama akuntansi sebagai ilmu untuk menarik kesimpulan dari serangkaian data dan informasi entitas ekonomi belum tercapai secara memuaskan.

Untuk menjawab tantangan ini, disiplin ilmu akuntansi mengembangkan diri dengan mengadopsi prinsip-prinsip ilmu lain khususnya ekonomi, psikologi, hukum, bahasa, sosiologi dan budaya. Dengan perkataan lain menjadi multi disiplin dan holistic. Penerapan aspek-aspek ini dapat dilakukan dalam mata kuliah: risk management, corporate governance dan business ethics. Dengan cara pandang yang muti disiplin maka seorang akuntan dapat memberikan solusi yang tidak hanya reliable tetapi juga relevan.