Pada suatu sesi kuliah tamu di program Master Akuntansi, seorang nara sumber mengemukakan kemajuan teknik penggalangan dana yang sophisticated dipasar modal Indonesia. Instrumen penggalangan dana tidak lagi terbatas pada bentuk instrument konvensional seperti surat hutang (obligasi), saham dan derivatif (seperti right atau warrant). Instrument penggalangan dana yang sedang berkembang pesat dalam beberapa tahun belakangan ini adalah berbasis sekuritisasi.

Menurut Gorton dan Metrick (2013), sekuritisasi adalah suatu proses dimana aset keuangan (surat berharga, pinjaman dan lainnya) yang semula berada pada neraca suatu perusahaan keuangan di olah untuk dijual kembali. Model bisnis ini adalah suatu pengembangan dari model intermediasi keuangan konvensional yang bersifat originate to hold.

Dalam artian originate to hold, perusahaan keuangan menginisiasi suatu aset finansial (klaim keuangan terhadap debitur) untuk dipegang hingga jatuh tempo. Denngan sekuritisasi, paradigma yang digunakan adalah originate to distribute dimana perusahaan keuangan yang pertama kali menginisiasi instrument keuangan memiliki motivasi untuk menjual kembali dalam suatu situasi tertentu.

Sekuritisasi digunakan sebagai suatu  instrumen optimisasi struktur finansial perusahaan dan manajemen risiko (Brealey, Allen and Myers, 2017). Pada situasi ekonomi atau kondisi internal perusahaan tertentu, bauran aset yang dimiliki oleh perusahaan mungkin sudah tidak lagi matched dengan struktur permodalannya. Hal ini misalnya perusahaan telah mengakumulasi penerbitan obligasi yang cukup besar sedangkan durasi dari aset lebih kecil. Mismatched ini dapat diperbaiki dengan menjual aset tersebut serta menggantikannya dengan aset berdurasi yang lebih panjang.

Sekuritisasi adalah suatu aset finansial yang bersifat collateralized. Penjualan kembali dilakukan dalam bentuk penerbitan surat berharga yang diback up oleh surat hutang/kredit sebagai agunan (oleh karena itu sering dikenal sebagai aset backed securities-ABS).

ABS biasanya memiliki 2 lapis agunan. Yang pertama adalah cash flow dari instrument finansial itu sendiri yang berupa bunga/coupon/amortisasi pokok. Lapis kedua adalah agunan riil yang menjadi kolateral dari instrument finansial itu sendiri. Yang terakhir ini khususnya jika sekuritisasi dilakukan pada aset-aset pinjaman seperti Kredit Pemilikan Rumah, Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi.

Terdapat tiga standar akuntansi yang menjadi panduan dalam aktivitas sekuritisasi, yakni IAS 32, IFRS 9 dan IFRS 7. IAS 32 memberikan panduan mengenai presentasi; kapan suatu item dalam laporan keuangan disebut instrument finansial. IFRS 9 mengatur mengenai pengakuan (rekognisi) dan pengukuran. Sedangkan IFRS 7 mengatur mengenai kewajiban dan ketentuan pengungkapan (disclosure).

Meskipun telah memiliki panduan akuntansi yang cukup komprehensif, aktivitas sekuritisasi bersifat sangat kompleks. Terlebih lagi mengingat karakteristik IFRS yang bersifat principle based, peran judgment menjadi sangat penting. Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan suatu pembahasan yang komprehensif mengenai treatment akuntansi atas sekuritisasi. Namun paling tidak akan dikemukakan suatu ilustrasi mengenai kompleksitas yang timbul dan bagaimana ia menjadi tantangan bagi profesi akuntansi. Mengingat sekuritisasi adalah salah satu manifestasi inovasi keuangan, maka tantangan tersebut menjadi isu bagi profesi akuntan dalam menyikapi inovasi keuangan secara umum.

Suatu ilustrasi yang cukup pelik adalah mengenai rekognisi (yang diatur oleh IFRS 9). Suatu sekuritisasi dapat dilakukan dengan kriteria recourse: dalam hal underlying aset mengalami default, perusahaan penerbit (originator) wajib membeli kembali/menebus aset tersebut. Keberadaan klausula ini dapat menimbulkan kompleksitas, mengingat IFRS mengakui penghapusan (derekognisi) aset finansial hanya dilakukan apabila seluruh risiko (dan reward) telah ditransfer kepada pihak pembeli.

Banyak instrument sekuritisasi telah memblock penghasilan dimasa yang akan datang sebagai hak cash flow prioritas bagi aset sekuritisasi. Hal ini memberikan implikasi terhadap ketentuan pengakuan pendapatan (IAS 1 ). Hasil penerbitan sekuritisasi sering diperlakukan sebagai kontra atas pos revenue yang akan diterima (yang bukan merupakan suatu jenis instrument finansial). Bagaimana hal ini perlu diselaraskan?

Sekuritisasi telah menjadi suatu andalan bagi perusahaan untuk memperoleh pendanaan. Mengingat karakteristiknya yang bersifat over the counter dan tailored made. S&P mengestimasi kapitalisasi sekuritisasi global mencapai USD 1 Triliun; dengan compounded annualized growth (CAGR) sebesar 11.7% sejak 2015. Demikian halnya situasi di Indonesia; sebagai gambaran Laporan Tahunan Gubernur BI pada tanggal 28 November 2019, menyampaikan outstanding sekuritisasi sebesar Rp. 49 Triliun untuk sektor infrastruktur saja.

Disisi lain, sekuritisasi adalah suatu kategori hutang (leverage). Hutang dalam perspektif mikro dan makro harus dalam koridor yang manageable. Studi Reinhart and Rogoff (2009) menunjukkan bahwa krisis ekonomi selalu dipicu oleh excessive leverage yang memiliki manifestasi yang berevolusi. Untuk itu panduan pengukuran dan disclosure yang menjadi tanggug jawab profesi akuntan merupakan hal yang kritikal.

Akuntan perlu mencari titik keseimbangan antara pengaturan dengan inovasi agar bisnis ini dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat dengan tetap mengedepankan soundness dan prudence business practices.