Pada pembukaan Indonesia Banking Expo 6 November 2019, Presiden Jokowi kembali mengulangi himbauannya agar perbankan menurunkan suku bunga kredit. Himbauan ini terlihat mengambil momentum atas pelonggaran kebijakan moneter, dimana Bank Indonesia pada bulan Oktober telah kembali memangkas policy rate (untuk yang keempat kalinya ditahun ini) menjadi 5.00%. Kepala negara terlihat ingin segera melihat dampak kebijakan moneter tersebut untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang telah cukup lama “nyangkut” dikisaran 5%.

Dalam teori ekonomi makro, kebijakan moneter adalah salah satu kebijakan sisi permintaan agregat yang kerap digunakan untuk menstimulasi aktivitas perekonomian. Terlepas dari perdebatan ilmiah yang mempertanyakan efektivitas kebijakan tersebut pasca krisis global, logika berpikir dari teori kebijakan moneter masih solid. Pemangkasan suku bunga kebijakan, akan menyebabkan biaya dana bank menurun, ceteris paribus, yang akan kemudian akan diteruskan dengan penurunan bunga kredit. Penurunan suku bunga kredit selanjutnya akan menggairahkan aktivitas bisnis: utamanya konsumsi dan belanja modal yang merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi.

Pada saat tulisan ini dibuat, kebijakan moneter sebenarnya telah memberikan dampak. Terlebih lagi dengan dukungan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang juga telah melakukan pemangkasan tingkat bunga penjaminan dengan besaran yang setara. Sejak bulan Juli, suku bunga Deposito berjangka 1 bulan telah turun hampir 50 bps. Namun demikian tingkat bunga kredit belum berubah dikisaran 10.2% (kredit investasi) hingga 11.5% (kredit konsumsi).

Secara teori dan empiris, transmisi kebijakan moneter memang membutuhkan waktu untuk mencapai tujuannya. Dalam studi yang pernah penulis lakukan, kebijakan moneter memerlukan waktu antara 1-3 bulan untuk full pass through ke suku bunga dana; sedangkan ke suku bunga kredit membutuhkan waktu waktu antara 6-12 bulan. Dampak kepada pertumbuhan ekonomi lebih lama lagi (lebih dari satu tahun). Jadi memang harus bersabar untuk melihat “buah” dari kebijakan moneter.

Perlu diakui bahwa memang terdapat suatu isu yang valid mengenai perilaku bunga kredit di Indonesia. Suku bunga kreidt memiliki dua komponen utama yakni biaya dana (cost of fund) dan biaya intermediasi (Net Interest Margin).

Masyarakat Indonesia masih memperlakukan simpanan pada bank sebagai suatu investasi. Sebagai investasi tentu diharapkan adanya real rate: imbal hasil diatas inflasi. Dinegara-negara maju simpanan dibank adalah suatu bentuk uang yang disisihkan untuk maksud transaksi dan berjaga-jaga. Dengan adanya LPS, imbal hasil simpanan di bank seharusnya mendekati risk free instrument: yang memberikan return hanya sebesar inflasi.

Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam mengelola inflasi. Dibandingkan periode 2000-2010, inflasi rata-rata telah turun dari 8.1% menjadi 4.9%. Volatilitas (yang diukur dengan standar deviasi) juga telah menurun secara signifikan dari 3.3% menjadi 1.4%. Capaian inflasi ini adalah paling optimal, dan long term equilibrium. Inflasi yang terlalu rendah juga tidak baik karena menunjukkan perekonomian yang “kurang darah”.

Prestasi pengendalian inflasi ini tampaknya tidak memberikan pengaruh terhadap perilaku nasabah penyimpan. Data Bank Dunia (World Development Indicators) menunjukkan imbal hasil riil (selisih suku bunga dengan inflasi) simpanan perbankan tidak berubah: disekitar 2.1%. Struktur sisi penawaran pasar simpanan yang  oligopolis, yang ditunjukkan oleh data LPS dimana sekitar 0.2% deposan menguasai sekitar 50% nominal dana tampaknya telah memberikan andil atas tidak reponsif nya imbal hasil simpanan atas kinerja inflasi.

Faktor lain yang diduga menjadi penyebab adalah masih konvensional nya struktur pendanaan perbankan. Perbankan Indonesia masih “tradisional” yang mengandalkan simpanan sebagai sumber pendanaan. Porsi simpanan dimayoritas bank-bank mencapai 70%-80%. Akibatnya tentu posisi tawar bank lemah dibandingkan pemilik dana (yang oligopolis).

Data Bank Dunia (Global Financial Database; GFDD) menunjukkan rata-rata Net Interest Margin (NIM) periode 2001-2017 perbankan Indonesia sebesar 5.7%. Dibandingkan peer terpilih: Brazil, Russia, China, India, Malaysia, Philipina dan Thailand, Indonesia menempati posisi kedua tertinggi (setelah Brazil: 6.3%). NIM adalah operating margin bagi bank yang digunakan untuk mengkompensasi biaya usaha, biaya cadangan risiko (utamanya risiko kredit) serta target laba. Data menunjukkan tidak ada tren struktural atas NIM di Indonesia sejak 2001; yang bergerak dengan standar deviasi 0.78%, naik turun karena siklus moneter.

Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah biaya usaha dan biaya cadangan risiko tidak mengalami perbaikan? Data menunjukkan Cost to Income ratio telah menurun dari 52.8% (rata-rata 2000-2010) ke 47.8% (rata-rata 2011-2017). Sedangkan rasio Non-Performing Loan (NPL) bahkan telah turun lebih besar lagi dari 11.7% ke 2.2%.

Uraian diatas menunjukkan jika kita ingin perbaikan yang struktural atas suku bunga kredit maka ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama adalah menjaga capaian inflasi yang telah ada saat ini dan mendorong agar imbal hasil simpanan bank semakin mendekati inflasi. Kedua adalah menurunkan NIM. Dengan tren perbaikan pada dua komponen utama NIM: biaya usaha dan risiko kredit, tentu fair untuk meminta perbankan untuk lebih efisien lagi dalam melakukan aktivitas intermediasinya. Tren teknologi, regulasi dan best practices saat ini juga mengarah bagi perbaikan lebih lanjut pada kedua komponen tersebut. Menjaga inflasi dan menurunkan NIM harus dirangkum sebagai tujuan suatu kebijakan publik yang menjadi komitmen semua stakeholder utamanya regulator, perbankan dan nasabah.

Tulisan ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia tanggal 5 Desember 2019 (https://koran.bisnis.com/read/20191205/251/1178024/industri-perbankan-menurunkan-suku-bunga-kredit-bank)