Kenaikan nilai perusahaan (Value of the Firm) adalah salah satu tujuan utama manajemen.  Suatu cara yang populer untuk meningkatkan nilai perusahaan adalah melalui pertumbuhan anorganik melalui Merger dan/atau Akuisisi (disingkat M&A). Melalui M&A suatu perusahaan dapat dengan cepat tumbuh besar melalui bergabung dengan atau akuisisi perusahaan lain.

Beberapa High Level Logic didalam melakukan M&A adalah (1) untuk mencapai efisiensi biaya melalui skala ekonomi (economies of scale) dan (2) untuk memperoleh nilai synergy (Alexander, 2018). Teori ekonomi mikro menjelaskan bahwa kurva biaya memiliki bentuk U atau L terhadap output. Biaya produksi total akan menurun jika output meningkat. Berdasarkan logika ini M&A dilakukan terhadap perusahaan lain yang memiliki karakter produk yang serupa tetapi berada diwilayah atau pasar yang berbeda.

Sedangkan logika synergi didasarkan pada filosofi Aristoteles bahwa nilai dari gabungan lebih besar dari jumlah komponennya (the whole is greater than sum of the parts: V(AB)>V(A)+V(b)). Hal ini dapat terjadi jika terdapat komponen sinergi yang positif yang merupakan hasil dari M&A. Sinergi dapat bersumber terutama dari komplementari output dan/atau input; economies of scope; value chain; nilai terpendam dan manfaat pembiayaan (Alexander, 2018).

Agar aktivitas M&A dapat optimal; sutau perencanaan yang matang perlu dilakukan. Perencanaan ini merupakan sutau desain M&A yang komprehensif yang meliputi tiga tahapan besar yakni: (1) Formulasi dan Identifikasi, (2) Due Diligence dan (3) Implementasi (Ryan, 2018). Para pihak (Acquirer dan Target) perlu mengindentifikasikan logika dan sumber dari nilai synergi M&A yang akan dilakukan. Hasil identifikasi yang masih dalam tataran konseptual ini perlu diverifikasi (dalam derajat tertentu) dengan fakta yang ada (posisi keuangan: neraca, laporan rugi laba, arus kas serta informasi lainnya). Proses verifikasi yang disebut Due Diligence akan berujung pada Analisa Cost-Benefit dengan kesimpulan: M&A memberikan nilai tambah (berarti dijalankan) atau tidak. JIka dijalankan maka kemudian dipersiapkan perangkat (Hardware, Software dan People) yang perlu dilibatkan seperti kontrak, teknis pembayaran, penunjukan konsultan (akuntan publik, lawyer dan investment banker) dan koordinasi dengan regulator.

Tidak semua M&A pada akhirnya sukses. Literatur keuangan korporasi hingga saat ini belum dapat menyimpulkan apakah M&A memang merupakan suatu teknik yang credible dalam meningkatkan nilai perusahaan. Ukuran kesuksesan M&A sangat tergantung indikator dan konteks. Suatu studi yang dilakukan oleh KPMG (2010) menunjukkan bahwa M&A yang paling sukses (diukur dari kenaikan harga saham setelah 12 bulan) adalah jika didasarkan pada pertimbangan ekspansi pasar dan memperkokoh struktur keuangan. Tetapi jika indikator kesuksesan yang digunakan adalah perubahan harga setelah 24 bulan maka M&A yang paling sukses adalah yang didasarkan pada pertimbangan nilai terpendam.

Mengapa sulit merealisasikan kesuksesan M&A? Straub (2007) mengajukan beberapa hipotesis. Pertama, ukuran dari kesuksesan M&A sangat mungkin bersifat jangka panjang. Manfaat skala ekonomi dan sinergi baru terlihat dalam jangka 3-5 tahun bahkan mungkin lebih. Dalam horizon waktu tersebut tentu saja banyak faktor lain yang ikut membantu penciptaan nilai; terdapat masalah identifikasi. Kedua, M&A sendiri juga sering dilakukan dengan motivasi diluar komersial terutama bersumber dari kepercayaan diri berlebih dari manajemen puncak (Hubris Theorem). Ketiga sekalipun M&A telah direncanakan dengan matang serta memiliki kalkulasi bisnis yang sound; nilai sinergi dapat terkuras akibat permasalahan implementasi. Hal ini terutama terjadi pada hostile take-over; akibat perlawanan target.

Gaughan (2017) memperkirakan dunia saat ini sedang memasuki gelobang M&A ke lima (sejak tahun 1980). Pada gelombang terkini driver utama dari M&A adalah teknologi informasi terutama yang terkait dengan New Economy. Perusahaan-perusahaan established mencari mitra atau melakukan akuisisi untuk berkembang dalam lingkungan ekonomi yang diwarnai oleh Internet of Things. Di Indonesia sendiri, High Profile M&A dilakukan untuk skala ekonomi – diversifikasi revenue seperti akuisisi konglomerasi keuangan raksasa Jepang: MUFG dan Sumitomo terhadap Danamon dan BTPN.

Uraian diatas menunjukkan bahwa M&A perlu dilakukan secara selektif untuk meningkatkan nilai perusahaan. Persiapan yang matang perlu dilakukan dengan pertimbangan (high level logic) serta kalkulasi bisnis yang sound serta diikuti implementasi yang disiplin namun tetap fleksibel.