Saat ini sebuah kecurangan (fraud) sudah menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan sehingga dapat ditemukan didalam semua kondisi, baik dunia keuangan maupun non-keuangan. Kecurangan (fraud) yang terjadi di perusahaan dapat menjadi masalah yang menjalar dan memakan biaya yang paling besar untuk diatasi. KPMG melakukan survei mengenai kecurangan yang terjadi di UK dan mempublikasikan “Fraud Barometer” untuk tahun 2015. Dari data yang diberikan menunjukkan total angka kecurangan di UK meningkat jika dibandingkan tahun 2014 yaitu sebesar £732 juta dari £717 juta. Belum lama ini, Ernst & Young (EY) baru saja mempublikasikan “14th Global Fraud Survey 2016” yang menyatakan bahwa kecurangan masih terjadi secara global. Dari hasil survei ditemukan adanya peningkatan praktik korupsi dan suap secara global dari 38% menjadi sebesar 39% sejak tahun 2014. Jika dilihat berdasarkan negara maju, praktik korupsi dan suap terjadi kenaikan sebesar 4% dimana dari tahun 2014 sebesar 17% menjadi sebesar 21%. Hal ini menjadi bukti yang cukup bahwa jika tidak ditangani maka kecurangan (fraud) akan semakin meningkat. Berdasarkan data dari Association of Certified Fraud Examination (ACFE), diperkirakan kerugian sebesar $6.3 milliar terjadi di seluruh dunia karena disebabkan oleh kecurangan dalam laporan keuangan, penyalahgunaan asset, dan korupsi di tahun 2016. Dari kerugian tersebut, membuktikan bahwa kecurangan (fraud) merupakan tantangan berkelanjutan yang dihadapi oleh industri manapun.

Di Indonesia sendiri, kasus fraud masih banyak terjadi. Pada tahun 2015, skor Indonesia dalam Corruption Perception Index (CPI) menempati posisi ke 88 dari 168 negara yang diukur tingkat korupsinya. Dengan posisi ke 88, Indonesia masih kalah dari Thailand, Malaysia, dan Singapura untuk masalah pemberantasan korupsi (Transparency International, 2016). Menurut laporan yang disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), terdapat peningkatan jumlah kasus fraud di perbankan dalam 2 tahun terakhir, yaitu tahun 2015, terdapat 23 kasus dan tahun 2016 menjadi 26 kasus. Lebih lanjut, OJK menyampaikan, jenis kasus kecurangan tersebut meliputi kasus kredit, rekayasa pencatatan, penggelapan dana, transfer dana dan pengadaan asset. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diindikasi memiliki kasus kecurangan yang paling banyak, hal ini terbukti bahwa 80% dari BPR yang ditutup, disebabkan oleh kasus kecurangan. Tingginya kasus fraud di BPR disinyalir karena lemahnya pengawasan yang bersifat tidak kontinyu.

ACFE (2016) mengklasifikasikan jenis – jenis kecurangan menjadi 3 kategori besar, yaitu (1) Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statements), (2) Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation) dan Korupsi (Corruption). Masing-masing kategori ini akan dijelaskan pada artikel Overview Fraud di Indonesia (2).

Referensi:

ACFE. 2016. “Report to the Nations on Occupational Fraud and Abuse: 2016 Global Fraud Study,” Association of Certified Fraud Examiners  (ACFE), West Ave.

ACFE Chapter Indonesia. 2017. “Survai Fraud Indonesia,” ACFE Indonesia Chapter, Jakarta.